Senin, 01 Agustus 2011

PROSES KREATIF KEPENGARANGAN


PROSES KREATIF KEPENGARANGAN
 I GUSTI PUTU BAWA SAMAR GANTANG DAN ROH PUISI AAB JAGAT
 I Made Budiasa
Budiasa63@yahoo.com
============================================

ABSTRAK

I Gusti Putu Bawa Samar Gantang lahir di Tabanan Bali dari keluarga satria berdarah seniman. Citra keluarga seniman dan warna sosial (Gusti) ia  pertanggungjawabkan dalam bentuk nyastra (bersastra). Salah satu hasil kreativitasnya adalah puisi Aab Jagat.
Puisi Aab Jagat merupakan salah satu judul puisi dan sekaligus dijadikan judul kumpulan ke-52 buah puisi karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Kehadiran puisi-puisi yang tergolong puisi Bali modern itu, memberi corak dan warna bagi jagat kesusastraan Bali. Berdasarkan sudut pandang penulis, yang dilandaskan pada permainan bunyi, imaji, dan majas yang digunakan dalam puisi AJ, roh yang menjiwai  puisi AJ  adalah tri hita karana, yang dilihat, direkam dalam pikiran, dilaksanakan sebagai adat  kebiasaan, dan diaktualisasikan pengarang dalam puisi.
            Konsep tri hita karana merupakan penjabaran dari tiga penyebab hubungan harmonisasi, yakni: (a) hubungan harmonis dengan Tuhan, (b) hubungan harmonis dengan sesama, dan (c) hubungan harmonis dengan lingkungan (alam). Konsep dasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya puisi AJ. Selain itu, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang  memiliki semangat profetik dengan gejala-gejala kehidupan yang terlihat oleh mata dan pikiran biasa ini hanyalah ungkapan lahir dan simbol dari kenyataan hakiki yang tersembunyi. Gejala-gejala lahir itu adalah alamat-alamat Tuhan dan ayat-ayat-Nya yang mesti dibaca dan dihayati secara mendalam, baik ayat-ayat Tuhan yang terbentang dan tersembunyi di dalam alam maupun di dalam diri manusia. Yang dalam mencapainya harus dilandasi keselarasan, keserasian, kesesuaian dalam  pikiran, perkataan, dan perbuatan. Oleh karenanya, makalah ini menekankan pada profil dan proses kreatif I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dalam jagat sastra dan roh yang menjiwai puisi-puisi AJ?

Kata-kata kunci: puisi Bali modern, proses kreatif,  dan roh

1.  Pendahuluan
            Tulisan ini salah satu bentuk penghormatan tanggal kelahiran penulis (17 Juli) yang bertepatan dengan “Utsawa Penyair Nusantara” kelima, atas prakarsa DKSS di Palembang. Prakarsa yang agung ini dan niat yang tulus sahabat (LIN) menjadi dorongan mengapresiasi puisi “Aab Jagat” karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Dalam situasi ini, penulis sadar akan ulasan ini jauh dari sempurna “Tulya kadi kunang-kunang anarung sasi, kadi sangkur mabet jamprah, majanten Ratu, tan sida titiang pacang ngeledangin, ngawi purna pakayun”Bagai kunang-kunang bermaksud menyamai bulan, bagai ayam tanpa ekor berpura-pura berekor lebat, jelas tak mampu memberi kepuasan dan menyenangkan hati.’ Untuk itu, tanpa mengurangi “wibawa” harapan DKSS dengan “pongah” penulis ikutsertakan kajian puisi Aab Jagat salah satu puisi yang tergolong puisi Bali Modern.
            Membaca karya-karya sastra Bali modern, mengingatkan akan nama: I Made Sangra (almarhum), Nyoman Manda, Jelantik Santha, I Ketut Suwija, Made Taro, Anak Agung Wiyat S. Ardhi, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, dan Gde Dharna. Mereka adalah pengarang senior yang karyanya banyak memberi konstribusi terhadap perkembangan sastra Bali modern. Selain pengarang di atas, pengarang muda yang mengikuti jejak mereka dalam berkarya, yakni I  Dewa Raka Kesuma, I Komang Berata, Ngakan Kasub Sidan, Ida Bagus Parwita, I Made Suarsa, dan Ida Bagus Pawana Suta. Mereka adalah pengarang muda yang membuktikan dirinya sebagai pegiat sastra melalui karya-karyanya yang termuat dalam beberapa media, seperti: Majalah Canang Sari, Burat Wangi, Nusa tenggara, Bali Post, dan buku yang telah diterbitkan, baik berupa prosa maupun puisi.
Karya-karya pengarang di atas, sesungguhnya sangat menarik untuk dibahas, namun keterbatasan ruang dan waktu, akhirnya pilihan jatuh pada pengarang I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dengan karya puisinya yang berjudul “Aab Jagat”. Pilihan ini dilandasi pemikiran: (1) sodoran tema MKSS, (2) bait-bait isi puisi menujukan ketajaman dalam mengangkat ide; suatu fakta empiris (tajam melihat dunia sekitar) dan fenomena itu diolah ke dalam dunia fiksi, (3) putra Bali yang tidak mampu melepaskan diri dari cara pandang “kebaliannya”, salah satu konsep sangat lekat yang mungkin muncul dari alam bawah sadarnya, yakni konsep “tri hita karana”. 
Terbitnya puisi Aab Jagat ‘Adat Kebiasaan di bumi’ (2009) karya I  Gusti Putu Bawa Samar Gantang memberi corak dan warna bagi jagat kesusastraan Bali modern. Puisi Aab Jagat (selanjutnya disingkat PAJ) merupakan kumpulan puisi, yang di dalamnya termuat  52 buah puisi. Adapun ke-52 puisi itu: “Lindu, Bagong, Sanghyang Aji Sarawasti, Wantah I Dewa Indonesian Titiange, Rerainan Jagat Galungan, Rerainan Jagat Kuningan, Purbarini, Puisin Titiange, Tresnan Titiange, Kepanngan 1983,  Hotel Hastorenggo Kaliurang, Yening, Macengkrama Akesep, Kroda, Titiang Sareng Ragane, Komet Helly, Dasa Rahina ring Malaysia, Limang Rahina ring Singapura, Masan Ngeluku ring Carik, Para Dewatane Menggah Piduka, Sayu, Mapas Pawana Masa, Puniki Gumi Matatu miwah Lue, Candi Sukuh lan Ceto, Hening Jagat, Ngetohin Jengah, 48 Parte, Pura Uluwatu, Tanjung Benoa, Sugih Sakit, Nang Kuasa, Ni Lasti Wangi Ayu Puspa Jagat Bali, Warsa 2000, Peteng Dedet, Pura Segara Bulungdaya, Langit Paling, Pura Luhur Lempuyang, Pura Luhur Lempuyang, Pura Mandara Giri Semeru Agung, Pura Agung Blambangan, Gelah Pecalang Gadang, Merah Putih Benderan Gelahe, Ling Lubak, Gunung Batur Makeplug Malih, Sandikala ring Jero Kuta, Makiis ka Segara Yeh Gangga, Agama lan Adat ring Pulina Bali, Buut Jagat, Kuluk Benjul, Soma Umanis Tolu, dan Cirin Gumi Paling”.      
Berdasarkan sudut pandang penulis, yang dilandaskan pada permainan bunyi, imaji, dan majas yang digunakan dalam PAJ, secara keseluruhan ide yang dapat ditangkap dari puisi tersebut, yakni nilai-nilai tri hita karana yang menjadi roh PAJ. Konsep tri hita karana merupakan penjabaran dari tiga penyebab hubungan harmonisasi, yakni: (a) hubungan harmonis dengan Tuhan, (b) hubungan harmonis dengan sesama, dan (c) hubungan harmonis dengan lingkungan (alam). Konsep dasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya PAJ. Selain itu, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang  memiliki semangat profetik dengan gejala-gejala kehidupan yang terlihat oleh mata dan pikiran biasa ini hanyalah ungkapan lahir dan simbol dari kenyataan hakiki yang tersembunyi. Gejala-gejala lahir itu adalah alamat-alamat Tuhan dan ayat-ayat-Nya yang mesti dibaca dan dihayati secara mendalam, baik ayat-ayat Tuhan yang terbentang dan tersembunyi di dalam alam maupun di dalam diri manusia. Yang dalam mencapainya harus dilandasi keselarasan, keserasian, kesesuaian dalam  pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Sebagai sebuah teks sastra, lantunan jiwa AJ ini sarat menghadirkan realitas dengan potensi komunikatifnya lewat penggunaan semiotik kebahasaan yang bersifat natural (ordinary language), yaitu bahasa keseharian namun tidak sedikit pula arbitrer, seperti diksi “Kailihin kelapa mardawa ring pasisi” ‘dikipasi kelapa (menjadi) lemas di pinggir’, “Makenyung gumintange angulap-ulap tumasik segarane” ‘Tersenyum seluruh bintang melihat pasir pantai’, “liang katak dongkange nembangin sasih kawolu” ‘katak dan katak puru bergembira menembangi bulan kawulu (bulan kedelapan Bali)’ disajikan untuk memberi nuansa makna.
Alam sebagai lingkungan terdekat penyair, disadari atau tidak pastilah berjejak dalam karyanya. Hal itu jelas terlihat dalam bait puisi “Wantah I Dewa Indonesian Titiange” “Kailihin kelapa...”, “langit miwah gumi ngewaliang....” ‘Langit dan bumi mengembalikan’(puisi Hotel Hastorenggo Kaliurang), “makenyung gumintange....” (puisi Limang Rahina ring Singapura), dan “katak dongkange nembangin....” (Puisi Pura Segara Bulungdaya). Bait-bait puisi di atas memanfatkan perangkat gaya personifikasi (pemanusiaan sifat alam). Citraan alam yang bicara tentang alam itu sendiri misalnya, berhasil dibangun I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dalam bait-bait puisi-puisinya dan mampu  memberi nuansa menyegarkan, baik perspektif, pesan maupun (bahasa) penyampaian. Selain citraan tentang alam (hubungan harmonis dengan alam), penyair juga mengekpresikan pengalamannya lewat hubungan harmonis dengan Tuhan, yang dituangkan dalam puisi berjudul “Sanghyang Aji Saraswati”, “Rerainan Jagat Galungan”, “Rerainan Jagat Kuningan”, “Purbarini, Puisin Tiange, Tresnan Tiange”, Para Dewatane Menggah Piduka”, “Pura Uluwatu”, “Pura Segara Bulungdaya”, “Pura Luhur Lempuyang”, “Pura Mandara Giri Semeru Agung”, “Pura Agung Blambangan,” dan “Makiis ka Segara Yeh Gangga.” Dari puisi-puisi itu, terlihat kedalaman spiritualnya. Metafora yang digunakannya sangat asli dan memiliki daya gugah yang kuat. Intinya, puisi-puisi di atas adalah tuangan jiwa seorang penyair religius.
Religiusitas pada dasarnya merupakan suatu sikap seseorang (manusia) dalam usahanya—secara bebas dan  merdeka—untuk menggapai Tuhan. Berkat kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki dalam mencapai Tuhan, seseorang dapat melakukan dengan bermacam cara. Apabila dalam mencapai tujuan untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta (Tuhan) seseorang melakukannya lewat ritualisasi agama tertentu, berarti orang itu memilih jalan formal sehingga sikap dan tindakannya termasuk ke dalam religiusitas agamis.
Melihat fenomana ini, model apresiai yang  dilakukan sehingga mengantarkan pada makna karya itu pada  masyarakat (pembaca) adalah lewat pembongkaran struktur, baik langsung maupun tidak langsung, yang secara semiotis tergambar dalam karya sastra (puisi). Aspek ekstrinsik pun akhirnya menjadi penting, karena karya sastra tidak dapat dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan dan peradaban yang telah menghasilkannya. Tanpa aspek ekstrinsik itu, apresiasi akan memberikan kesempatan berupa kemungkinan-kemungkinan belaka dan dengan model kajian seperti itu, diharapkan gambaran latar belakang penulisan puisi, persepsi manusia tentang Tuhan, manusia tentang  kehidupan, dan dengan alam yang tertuang dalam PAJ dapat terungkap.


2.  Profil dan Proses Kreatif  I Gusti Putu Bawa Samar Gantang
            Proses pemahaman dan apresiasi terhadap sebuah karya sering juga tidak dapat  dilepaskan dari keberadaan pengarangnya secara totalitas. Melalui pengetahuan tentang siapa pengarangnya, seringkali pemahaman dan apresiasi terhadap sebuah karya sastra menjadi lancar. Ada tiga sudut pandang yang penting diperhatikan dalam hal ini, yakani: (1) biografi dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya, (2) biografi dapat mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra kepada pengarang secara pribadi, dan (3) biografi dapat diperlakukan sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. Dari ketiga pandangan itu, sudut pandang yang pertamalah yang paling banyak bermanfaat bagi sastra pada umumnya (Wellek dan Werren, 1993).
            Ada sesuatu kekuatan di balik zaman manakala Ia melahirkan putera terpilihnya. Kekuatan-kekuatan itu sulit dideskripsikan, namun menggugah hati bila dipikirkan. Di antara dua peluang yang menyertai perjalanan anak manusia, yakni peluang untuk menjadi “terkenal” dan peluang untuk menjadi “tenggelam” di keramain zaman, restu zaman sangatlah menentukan, di samping kerja terus-menerus. Dalam perjalanan  hidup I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, ternyata “restu zaman” menjadi “taksu[1] setiap kerja kreatifnya, sehingga ia berhasil menjadikan dirinya seorang sartrawan sebagaimana masyarakat luas mengenalnya.
            Terlahir dari keluarga kesatria[2] di Kota Tabanan Bali, pada tanggal 27 September 1949 dari pasangan I Gusti Gde Pugeg (seniman topeng) dengan I Gusti Ayu Nyoman Rerep (seniman tabuh dan kidung). Waktu kecil ia bernama  I Gusti Gde Arya Bawa. Ia menikah pada usia 27 tahun (27 September 1976) dengan I Gusti Ayu Made Susiati. Dari perkawinan itu, ia dikarunia empat orang anak (Ni Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini, S.S, I Gusti Made Mahindu Swara, S.H, I Gusti Nengah Hari Mahardika, S.N., dan I Gusti Ketut Adi Dewantara. Saat ini telah memiliki empat orang cucu.
            Semua masa pendidikan diselesaikan di kota Tabanan, yakni (tamat SD 6 tahun 1963, tamat SMPN tahun 1967, SMAN tamat tahun 1970, dan IKIP Saraswati Tabanan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia selesai tahun 1997). Bakat seni yang melekat dalam dirinya, ia tunjukkan semenjak duduk di SMAN Tabanan tahun 1968, kemudian diasah lewat pendidikan formal (FKIP Saraswatai Tabanan) dan pendidikan non-formal (membaca karya sastrawan-sastrawan besar, seperti Rabindranath Tagore, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri,  W.S. Rendra, dan Gunawan Muhamad serta mengikuti seminar-seminar kesastraan). Karya-karya sastrawan ini, bagi I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dapat menambah wawasan, membawa pembaharuan, acuan mengasah kemampuan, dan dapat mendatangkan kenikmatan tersendiri serta mampu menuntun diri menjadi kreatif-inovatif. Lewat kerja keras dan bakat yang dimiliki, lahirlah bererapa karya sebagai berikut:
 Hujan Tengah Malam (1974), Kisah sebuah Kota Pelangi (1976), Kabut Abadi bersama puisi-puisi Diah Hadaning (1979), Antologi Puisi Bali (1980), Antologi Puisi Pendapa Taman Siswa sebuah Episode (1982), Antologi Puisi ASEAN (1983), Antologi Festival Puisi XI PPIA (1990), Taksu Kebangkitan Nusantara I (1994), Antologi Kebangkitan Nusantra II (1995), Antologi Kidung Kawijayan (1995), Antologi Puisi Sanggar Margarana (1995), Antologi Kebangkitan Nusantara III (1996), Antologi Puisi Pos Nusantara Lokantara (1997), Perani Kanti (2002), Onyah (2002), Sagung Wah (2002) Berkah Gusti (2002) Bali Sane Bali (pemenang Esai berbahasa Bali, 2002), Sipta Durmanggala (2004), Kesaksian Tiga Kutub (antologi puisi dan cerpen, 2004), Kidung Dewata dalam Berkah Gusti (2004), Kumpulan Puisi Menimba Air Mata Aceh (2005), dan Aab Jagat (2009). Selain puisi, ia pun menulis cerpen yang berjudul Macan Raden (2002), Sipta Durmanggala (2004),  Awengi ring Hotel Sentra (2004),dan kumpulan cerpen Leak di Bukit Pecatu (2005). Satu-satunya esei berbahasa Bali berjudul Bali sane Bali pemenang sayembara (2001).
            Prestasi yang pernah diraih, yakni: (1) pemenang penulisan pusi nasional di Yogyakarta tahun 1982, (2) juara pertama menulis puisi se-Bali tahun 1979, (3) pemenang penulisan puisi pariwisata yang diselenggaran Yayasan Kimodo Jakarta 1991, (4) juara pertama menulis esei (tembang macapat) se-Bali tahun 2001, dan (5) delapan besar dalam pergelaran sastra di TIM tahun 1989.
            Memembaca karya-karya puisi I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, terlihatlah alam dan religi menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Ia lihat dengan cermat dan rekam peristiwa di mana alam dipijak, kemudian dituturkan lewat bait-bait puisi. Misalnya ketika ia pergi ke Kaliurang Yogyakarta, ia lukiskan dalam puisi “Hotel Hastorenggo Kaliurang” dengan kalimat:
Tiyang angob ngantenang wanadri pawanane
Langit miwah gumi ngewaliang nila baskara
Ahes sayong miwah asepe
Angkab-angkab tunggil rupa lan warna
Saking sor ngeluhurang Merapine
            Hotel Hastorenggo Kaliurang ngererengi....”
‘Saya terpesona melihat hutan di pegunungan
Angkasa dan jagat mengembalikan cahaya matahari
Munculnya kabut dan asap
Bergerak-gerak satu rupa dan warna
Dari bawah naik menuju Merapi
Hotel Hastorenggo Kaliurang (terdengar) suara sayu....’
            Bait-bait puisi lain yang menunjukan religius menjadi bagian penting dalam proses kreatifnya, terlihat dalam kalimat “Para dewatane menggah piduka/sampunang icena gumulung megane pongah/ mapelalean sabeh dolar/lukat sami budaya.... ‘Para dewata menjadi murka/jangan diberi awan bergulungan (ia) tak punya malu/bermain-main dengan hujan dolar....’ Dalam hal tipografi misalnya, kebanyakan sajaknya ditulis dengan pola penulisan lurus di kiri (ke bawah) seperti dalam penulisan narasi biasa dan pola itu terlihat seperti puisi-puisi Rendra yang kontemplatif, kritik sosial, dan memiliki banyak makna konotasi, kecuali dalam puisi Modre “Leak Lanang Leak Wadon Leak Kedi”, model penulisannya mirip penulisan puisi “Ah” karya Sutardji Calzoum Bachri. Perkecualian pada satu dua sajaknya tidak signifikan untuk menyebutkan bahwa I Gusti Putu Bawa Samar Gantang tertarik melakukan eksperimen dalam bentuk. Ia lebih mengutamakan ekspresi, isi, bukan tipografi atau visualisasi, seperti pernyataan Sanusi Pane, bahwa dalam melukiskan sesuatu seniman Timur lebih mengutamakan sari benda, lebih mengutamakan isi daripada bentuk, mementingkan jiwa daripada tubuh (Agastia dkk., 2002).
Bayangan Tagore nampak dalam beberapa hal, misalnya orientasi pemikiran kembali ke alam klasik mistis religius, kecintaan dan keterpesonaan pada alam, ungkapan-ungkapan yang liris, dan metafora yang kembali ke alam serta diksi yang sederhana tetapi kuat. Kata-kata mengalir langsung, sederhana, dan tidak dipaksakan. Hal itu pun tercermin dari bait-bait puisinya. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri karya-karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang tetap dibayangi karya-karya Rabindranath Tagore (2500 Buddha Jayanthi, Gitanjali, Bunga Seroja dari Gangga), Sanusi Pane (Shiwa Nataraja),  Amir Hamzah (Kekasihku), dan Armijn Pane (dalam sajak Gamelan Jawa). I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menghindari penggunaan kata-kata literer yang gagah kedengarannya. Kata-kata terasa mengalir langsung, sederhana, tidak dicari-cari, dan dibuat-buat, seperti air yang mengalir.
            Sederetan karya telah lahir dari kreativitasnya, walaupun aktivitasnya sehari-hari menjadi guru (di SMPN 2 Tabanan sejak tahun 1979—sekarang). Lewat kepenyairan yang disandangnya, ia pernah mengisi siaran pembacaan puisi di beberapa radio, antara lain: (1) RRI Studio Denpasar, (2) Menara Studio Broadcasting System, (3) Cassanova Denpasar dan diundang beberapa lembaga dalam kegiatan khusus, seperti PIA (Perhimpunan Indonesia Amerika Surabaya, Meseum Bali,  IKIP Saraswati Tabanan, Balai Bahasa Denpasar, STSI Denpasar, Taman Ismail Marzuki serta bersama penyair se-Asean melakukan perjalanan ke Singapura dan  Malaysia pada tahun 1986.
             Beberapa karya hasil kreativitasnya pernah dimuat dalam majalah: Warta Minggu, Bali Post, Simponi, Media Indonesia, Suara Pembaharuan, Suara karya, Baliaga, Canangsari, Buratwangi, Fajar, Zaman, Nusa tenggara, karya Bakti, Suara Nusa, Top, Aktuil, Sarwa Bharata Eka, Varianada, dan Sinar Harapan. Selama menggeluti dunia sastra, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang telah menerima beberapa penghargaan, di antaranya: (1) penghargaan Italian Heart dari pemerintah Indonesia-Italia, (2) penghargaan bahasa dan sastra Bali Cakepan dari majalah Sarad (2001), (3) tanda kehormtan Satyalancana Karya Satya ke-20 RI (2000), dan (4) penghargaan Sastra Rancage  (2003).
            I Gusti Putu Bawa Samar Gantang sangat bersyukur dengan apa yang dia peroleh. Ia sangat bangga dan optimis bahwa masih ada lembaga dan seseorang yang menghargai sastra di saat kehidupan yang dikatakannya serba kalut dan bisnis. Diakuinya, secara sederhana sebagai seorang penulis yang terpenting baginya adalah karya-karyanya berterima di hati masyarakat. Dengan rendah hati, dia memohon kritik dan saran dari para pembaca karyanya demi kemajuan sastra itu sendiri.
            Beberapa kali berbincang-bicang dengan penulis, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menaruh harapan pada generasi penulis sastra Bali khususnya, agar senantiasa giat mempelajari pakem-pakem, tata bahasa Bali yang baik dan benar, mampu memilih kata-kata baru (yang belum ada dalam perbendaharaan bahasa Bali) yang berasal dari bahasa daerah lainnya di Indonesia. Harapan itu dilontarkan dalam kalimat “...cakepan puniki anggen titi pengancan mangda alit-alite tetep seneng lan uning ring basa Bali...numbuhang kapitresnan para yowana Bali ring basa Bali lan basa Bali ajeg ring Gumi Bali.” (...buku ini dipakai jembatan penghubung supaya anak-anak tetap senang dan tahu bahasa Bali...menumbuhkan kecintaan di hati masyarakat Bali pada bahasa Bali dan bahasa Bali tetap kukuh di jagat Bali.’ Apa yang dikatakannya itu berdasarkan atas pengalamannya membaca karya-karya sastra yang telah dihasilkan oleh generasi penerusnya saat ini. Menurutnya, masih banyak pengarang atau penulis dan pembicara yang menggunakan bahasa Bali, tata bahasanya masih perlu mendapat perhatian lebih serius. Baginya, seseorang yang berbahasa Bali sesuai dengan rasa bahasa dan tata bahasa yang baik dan benar adalah mencerminkan  seseorang yang memiliki sopan santun, berbudi luhur, dan berbudaya tinggi.
  Berdasarkan karya-karya yang telah dihasilkan, penghargaan-penghargaan didapat, sastrawan-sastrawan yang dikagumi, dan hasil wawancara, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menjadi inspirasi, kreativitas sastrawan umumnya, dan penyair-penyair Bali modern khususnya. Keberhasilan itu ditunjukkan melalui indikator, di antaranya: (1) efisiensi bahasa, penggunaan kata-kata sangat singkat, sederhana, tetapi penuh energi, (2) kebaruan isi, yaitu sesuai dengan semangat zaman, dan (3) dapat menggugah emosi pembaca.
3. Kreativitas dalam PAJ
            Menurut Cassier (Ratna, 2009:105) ciri utama manusia bukan fisik atau metafisik, melainkan karyanya. Keturunan, kekayaan dan berbagai status sosial lain hanyalah pelengkap. Bahasa, seni, mitos, religi, sejarah, dan ilmu pengetahuan serta berbagai hasil kreativitas lain yang secara keseluruhan dihasilkan oleh emosi dan intlektual, adalah hasil-hasil peradaban manusia yang dianggap sebagai indikator terpenting untuk menunjuk identitasnya.
            Puisi hanyalah salah satu genre dari sejumlah hasil peradaban manusia. Sebagai aktivitas kreatif, seperti karya seni lainnya, selalu diidealkan sebagai seni yang berpijak pada asas selektivitas kata, efisiensi kalimat (kata), dan mengandung unsur emotif yang kuat. Kemestaan ide, kelembutan irama, kesederhanaan pilihan kata, serta kejujuran kreatif merupakan roh  dari puisi-puisi I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, yang ada dalam PAJ. Apa yang didambakan setiap insan sebagai kebenaran, etika dan moral, dan keindahan yang dilandasi hubungan harmonis dengan Tuhan, manusia, dan alam ternyata mendasari karya itu.
            Citra puitika yang disusun secara artifisial oleh I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dalam PAJ merupakan gambaran peristiwa yang pernah terjadi, sedang terjadi, dan lakuan yang dialami penyair. Peristiwa-peristiwa dan pengalaman, yang dilihat dan dijalani penyair dituangkan dalam bait-bait puisinya, sehingga terkesan penyair ini sebagai “perekam zaman”. Hal ini terlihat dalam puisi “Kepangan 1983
     Ring lemahe sanglir                                    ‘Pada siang hari tidak seperti biasanya
Langite kuning sengir mangsit                     Langit (berwajah) kuning kelam
Rapuh                                                           Rapuh
Madidih bir                                                  Terlihat sepereti buih bir
     Ring lemahe sanglir                                     Pada siang hari tidak seperti biasanya
     Paksi-paksine magresoan ngrereh sebune  Burung-burung cepat-cepat mencari sarangnya
     Sarwi ngetang gumintang                             Sambil menghitung bintang
    Baskara taler tawah ring sejeroning genah  Matahari juga terlihat aneh di                                                                                       tempatnya
            Puisi “Kepangan 1983” mengingatkan kita pada fenomena alam di Bali, yaitu gerhana matahari total pada tanggal 13 maret 1983 (dari pkl 12.15—13.10 Wita), sebagai wujud kreatif kepengarangannya. Peristiwa lainnya yang sedang melanda bumi nusantara  terlihat dalam puisi “Cirin Gumi Paling” ‘Ciri Bumi Sesat’ “Puniki cirin gumi paling/Gampang ucapang/ sengkil laksanayang/ Damuh kamuh!/Api kasmarane ngeranayang buut/ Kulawargane salah angkuh/ Inguh! ‘Ini ciri-ciri bumi sesat/Mudah diucapkan/Susah dilaksanakan/Rakyat tidak jelas/Api asmara penyebab kalut/Keluarga salah tingkah/Bingung!/’. Bait-bait puisi ini memperlihatkan pilihan kata sederhana, namun memiliki makna yang menggabarkan insan di bumi ini mengalami “krisis moral” dengan kritik ‘rakyat tidak jelas,  mudah diucapkan, sulit dilaksanakan, dan warga banyak yang bingung’. Dalam konsep budaya Bali, inilah disebut jagat “kalisengara” ‘mengalami kerusakan’.
            Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa pengarang menganut prinsip “menemukan” bahasa yang dipakai secara umum. Maksudnya, usaha untuk memberikan muatan makna baru dan unik dari kata umum yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Usaha itu adalah untuk membuat satu kata “hampa”, klise, dan ringan menjadi memiliki arti yang “dalam” dan tidak biasa atau kata itu dapat memberikan pengertian yang lebih dari kata sepadan jika digunakan. Dengan tematik yang  konsisten, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang nampaknya terlibat dalam suatu dilema antara pilihan untuk menyampaikan gagasan perubahan sosial ini sejelas mungkin dan tuntutan literer untuk memperindah bait-bait sajaknya.
            Berdasarkan pengamatan awal penulis tentang puisi-puisi yang tergambung dalam PAJ memperlihatkan puisi yang kontemplatif dan saat penulisan puisi itu (ia) katakan  “liar” karena tidak berpatokan dengan waktu. Ia hanya melakukan ritual yang rutin sebelum menulis, yakni bermeditasi. Berbeda halnya saat menulis novel, ia harus di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula (isotermal)  (wawancara Adia, 13 Juni 2011). Namun tidak dapat disangkal, kreativitas yang diperlihatkan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dalam PAJ tetap diilhami  Tagore, misalnya orientasi pemikiran kembali ke alam klasik mistis religius, kecintaan dan keterpesonaan pada alam, ungkapan-ungkapan yang liris, dan metafora yang kembali ke alam dan mengikuti pola puisi W.S. Rendra, kontemplatif, kritik sosial, dan memiliki banyak makna konotasi.

4. Roh PAJ
            Membaca PAJ, pembaca seolah-olah diajak mengingat fenomena di alam Bali, kisah-kasih terhadap sahabat, letupan asmara, perjalanan religius (tirta yatra), dan pengalaman perjalanan pengarang dalam aktivitas kepenyairannya. PAJ memiliki daya tarik tersendiri karena ia menginplisitkan rekaman peristiwa, lakuan, dan harapan. Namun, tidak mengesampingkan kualitas karya secara keseluruhan. Dalam makalah ini secara acak (awal, tengah, dan akhir) puisi PAJ dipilih sebagai sumber data analisis dengan harapan dapat menangkap makna dan memberi makna kepada puisi-puisi I Gusti Putu Bawa Samar Gantang.  Karya sastra itu merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan, mengevokasi emosi, membangkitkan energi-energi yang stagnasi, baik sebagai akibat pengaruh luar, seperti sosial, politik, dan ekonomi, maupun dari dalam sebagai akibat terganggunya mekanisme psikologis itu sendiri (Ratna, 2008).
            Sebagaimana beberapa penyair asal Bali, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang juga banyak menggunakan idiom lokal yang menunjukkan sifat penggalian sajaknya dari dunia tempatan. Artinya, roh yang menjiwai puisinya dengan menggali dunia secara kesemestaan dengan nilai-nilai kearifan budaya Bali sebagai sumber. Tercatat 21 buah puisi dalam PAJ menekankan konsep-konsep religi yang sesuai dengan tatanan agama Hindu, 16 buah puisi menekankan pada kondisi Bali, 7 puisi mempelihatkan hubungan antarsesama, 4 puisi memperlihatkan kritik sosial, dan selebihnya memperlihatkan gambungan antara hubungan manusia dengan lingkungan dan Tuhan. Dengan demikian, roh utama dari inspirasi sumber penulisan PAJ mengejawantahkan tiga hal keselarasan hubungan, yakni manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan lingkunga (palemahan) yang lebih dikenal “tri hita karana”. Pelukisan ini terlihat dalam deskripsi berikut.
4.1 Keselarasan Hubungan Manusia dengan Tuhan
            Keselarasan hunbungan manusia dengan Tuhan, memiliki makna bahwa sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Tuhan, tidak saja hal-hal yang baik, tetapi juga yang tidak baik. Oleh karena itu, manusia harus dapat menyerahkan diri dengan segenap jiwa raga kepada Tuhan; melakukan sujud bakti dan berterima kasih kepada-Nya. Hal  itu terlihat dalam puisi
             “Sang Hyang Aji Saraswati
Rahina mangkin, Saniscara Umanis wuku Watugunung
Suganda asep dupa menyan
Tembang kidung jelun genta
Nyukcuk kala nila agung
(genah wulan baskara nandak kala kauripan)
Rahina mangkin, Saniscara Umanis wuku Watugunung
Rahina piodalan Sang haynga Aji Saraswati
(rahina pemarisudhaan, rahina dharma sastra)
Umbul, taman, pura
Merik sumrit jempiring putih
Jenar wilis sandat cempaka
Suganda asep dupa menyan
Tembang kidung jelun genta
Nyangra Aji Mahamuni
Suka cita ngelinggihin angsa
Madayung tunjung jagat loka
Sitar ring tangan, ngejerang kehalusan
Ngumbah kayun sakancan merga jadma
Rahina mangkin, rahina piodalan Sang Hyang Aji Saraswati
Lontar asri nyandang aksara
Meneng kasangra canang dupa buratwangi
Iraga sami tayub masuganda; tamba, kmkuman, wasuan
Madu bebayon, keasrian, kealusan
Mawian, ning parisolah, ning laku, ning ucap
Duh, Sang Hyang Aji Saraswati, rarisang ambil pangubaktian titiange
Rayunan kembang sarwa wangi
Banten suci, banten Saraswati, peras, daksina
Canang lengawangi buratwangi, penek, pesucian, segara gunung.

‘Sang Hyang Aji Saraswati’
‘Alunan genta
Menusuk Hari ini, Sabtu umanis wuku Watugunung
Bau harum asap dupa kemenyan
Tembang kidung waktu nila agung
(tempat bulan matahari melayani saat kehidupan)
Hari ini, Sabtu umanis wuku Watugunung
Hari ulang tahun Sang Hyang Aji Saraswati
Hari pembersihan, hari ilmu pengetahuan)
Umbul-umbul, taman, pura
Harum semerbak bunga kacapiring putih
Kuning hijau kenanga cempaka
Bau harum asap dupa kemenyan
Tembang kidung alunan genta
Menyambut kedatangan pendeta agung
Bersukacita menduduki angsa
Beralaskan teratai sebagai alam
Gitar di tangan, menggetarkan kehalusan
Membersihkan pikiran seluruh manusia
Hari ulang tahun Sang Hyang Aji Saraswati
Lontar pustaka asri memuat aksara
Diam disambut sesajen canang dupa buratwangi (boreh harum)
Kita semua minum, (menyelipkan bunga) di telinga: obat,  kumkuman, wasuan
(cusi tangan)
Madu bebayon (kekuatan), keasrian, kehalusan
Itulah sebabnya bersih tingkah laku, bersih laku, bersih perkataan
Duh, Sang Hyang Aji Saraswatai, silahkan nikmati sujud bakti hamba
Sesajen aneka bunga serba harum
Sajen suci, sajen saraswati, peras, daksina
Sajen Lengawangi, buratwangi, penek, pasucian segara gunung’
 Model puisi jenis itu sering disebut puisi yang menekankan pada religius agamis, yaitu puisi yang secara terang-terangan mengungkap kepercayaan dan agama tertentu. Misalnya, hari Sabtu umanis wuku Watugunung dipercaya  umat Hidu di Bali sebagai hari ilmu pengetahuan (Aji Saraswati). Sebagai umat, saat itu seluruh buku diberi sesajen dan masyarakat tidak membaca buku umum dan orang-orang tertentu melantunkan tembang-tembang religius (lewat pesantian) yang didapat dari lontar-lontar. Konteks perilaku inilah dalam filosofi masyarakat Hindu jika diartikan secara lebih luas disebut hubungan (parhyangan). Secara vertikal, mampu meyakinkan diri bahwa Tuhan adalah segalanya, dan sebagai manusia harus yakin serta percaya atas kebesaran-Nya. Untaian kalimat “Duh, Sang Hyang Aji Saraswati, rarisang ambil pangubaktian titiange/Rayunan kembang sarwa wangi/” mencerminkan keyakinan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang tentang keberadaan Tuhan dalam manifestasi Saraswati (dewa tertinggi dalam ilmu pengetahuan) dan harapan tujuan perjalanan spritualnya.
Tema yang diangkat dalam puisi “Sang Hyang Aji Saraswati” (SHAJ) adalah tema biasa, yang diangkat dari ritual-magis masyarakat Hinndu di Bali pada hari Sabtu umanis Watugunung (pekan ke-30 atau pekan terakhir dalam Hindu). Diksi tidaklah neko-neko, bait-bait puisi merefleksikan langsung suatu kejadian, dan memberi kesaksian. Puisi “Rerainan Jagat Galungan” (RJG) dan “Rerainan Jagat Kuningan” (RJK) juga merujuk kode budaya masyarakat Hindu-Bali, yang mengandung spiritualitas post-religi. Maksudnya, ia menyublimasi persembahan, percintaan fisik menjadi percintaan mistik-vertikal antara hamba dengan sang pencipta dengan suatu harapan mendapat kesejahteraan, kedamaian, dan anugrah. Hal itu terlihat dalam bait puisi berikut. “Sapasira tan bagia/antuk suecan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/asung wara kerta nugraha/ngicen kerahajengan sareng sami/duh, sang penyuluh jagat/....” ‘ Siapa merasa tidak bahagia/atas kemurahan Ida Sang Hyang Widhi/iklas memberi karubia-Nya/memberi kesejahteraan semuanya/duh sang penerang jagat/....’ Dalam “Rerainan Jagat Kuningan”dilukiskan dengan kata-kata “Suganda nyambehang sekar/asep dupa menyan/ngiringin sang penyuluh jagat/miwah para dewata-pitara/....” ‘bau harum (saat) menaburkan bunga/asap dupa kemenyan/menyertai sang penerang jagat/serta para dewata-roh leluhur/....’
 Gaya penyampaian puisi memperlihatkan anapora dalam kata “Rahina mangkin, Saniscara Umanis wuku Watugunung” (SHAJ), sang penyuluh jagat” (RJG), kata itu diulang dengan tujuan menegaskan makna puisi. Selain itu, salah satu kekuatan puisi ini semakin terasa ketika memperhatikan untaian kata yang digunakan dalam karya itu, yakni menggunakan diksi personifikasi (suganda nyambehang sekar) (RJK), semacam gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 1990) atau merupakan bentuk lain metafora, kiasan tidak langsung yang sifatnya menyerupai manusia atau menimbulkan citraan sebagai makhluk hidup (Keraf, 2001). Ia hanya dibedakan oleh lakuan yang ditandai oleh verba aktif yang menyertainya. Hal itu mencitrakan proses kreatif pengarang bersandar pada aksioma dengan satu formula yang dapat menghasilkan makna dalam tentang kayika (perbuatan) religius.

4.2 Keselarasan Hubungan Manusia dengan Sesama
            Aktivitas, pengendalian diri, dan menjaga hubungan haromonis bercirikan khas Timur (Hindu-Bali) menjadi salah satu roh karya-karya PAJ I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Tidak dapat dipungkiri puisi  “Purbarini, Puisin Titiange, Tresnan Titiange” (PPTTT), “Yening” (PY), “Macangkrama Akesep”(MA) “Kroda” (PK), dan Titiang Sareng Ragane” (TSR) pada hakikatnya tersurat maupun tidak tersurat memuat perasaan pengarang. Aksentuasi berupa simpati, empati, keterlibatan emosi, dan keberpihakan menjadi bingkai peristiwa meski diungkapkan lewat permainan kata. Untaian perasaan pengarang terlihat dalam bait (PPTTT) “Purbarini, ayun puisin titiang sane metu saking toyan smara/keracik saking pranajiwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/....” ‘Purbarini, kecantikan puisi saya (pengarang) yang lahir dari air asmara/tercipta dari jiwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/....”. Kutipan bait puisi ini munujukan hubungan manusia dengan sesama dalam hal ini (anak), yang terlahir dari kata romantis “air asmara” atas anugrah Tuhan. Purbarini (nama lengkap lihat nama anak di atas) adalah nama anak sang pengarang, yang terlahir dari “tresna” ‘lahir dari air cinta kasih’. Hubungan harmonis dengan sesama dan atas rido Tuhan memberi warna roh PPTTT. Dalam tataran ini pengarang memperlihatkan  “keselaran bahasa  dengan perasaan yang dicurahkan” dengan mengasumsikan transparansi ekstra-simbolik dari tubuh ke dalam bahasa puitik.
            Puisi  “Macengkrama Akesep” juga memperlihatkan hungan manusia dengan sesama, yang secara inflisit menyuarakan kritik sosial terhadap seorang sahabat. Pelukisan itu terlihat dalam bait-bait puisi berikut.
 “Macengkrama Akesep”                                ‘Bercengkrama sebentar
Misahang raga saking lawat                          Memisahkan diri dari bayangan
Eling dauh miwah genah                                Tahu waktu dan tempat
Asih kinasih ring purana wulan gumintang   Kasih mengasihi dalam silsilah bulan                                                                           bintang
Mabebaosang indik kawitan                           Membicarakan tentang asal mula
Ngemuhang Widhi                                          Mengumurkan Widhi (Tuhan)
            Memperhatikan bait-bait puisi di atas, terlihat gambaran pengarang yang rindu akan kedatangan salah seorang keluarga, yang telah lama pergi dari lingkungan keluarga “misahang raga saking lawat”. Kesan salah satu keluarga yang lupa keluarga (kawitan), silsilah (purana) menjadi latar puisi ini. Bait puisi “Eling Dauh miwah genah” memiliki kesejajaran makna dengan “indik kawitan” dan “ring purana” yang memiliki makna, agar jangan meninggalkan keluarga yang diikat oleh adat tradisi dilandasi agama Hindu. Penataan kata “Ngemuhang Widhi” memiliki makna absolut, yakni orang yang telah meninggalkan kepercayaan yang dilandaskan pada konsep Hindu. Dalam konteks inilah, pengarang mengajak warga (keluarga) menata kembali keserasian dan keselarasan (kawitan) asal yang pernah menjadi sumber kepercayaan terhadap  Ida Sang Hyang Widhi.

4.3 Keselarasan Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan
            Keselarasan hungan manusia dengan alam lingkungan dilukiskan pengarang lewat pejalanannya dalam dunia yang digelutinya. Pengarang merekam pengalaman, peristiwa yang dialami, dan hal-hal yang dilihat, dijalin dalam untain sajak. Pelukisan itu terlihat jelas dalam puisi “Dasa Rahina ring Malaysia”(DRM)  dan “Limang Rahina ring Singapura” (LRS) seperti kalimat
Jagat Melayune karasa teguh kukuh ngajegang awig manut aab jagat
Saking Perlis, Kedah, Kelantan, Perak, Kampar, Pahang, Selanggor,
 Gumentos Klang, Sremban, Malaka, Segamat, Kluang, Johor
Jagat melayune karasa ingkup mupulang purana sastra/....” (DRM)
‘Bumi Melayu (Malaysia) terasa teguh dan kukuh mengakkan hukum menurut adat istiadat, Dari Perlis, Kedah, Kelantan, Perak, Kampar, Pahang, Selanggor,
 sampai Klang, Sremban, Malaka, Segamat, Kluang, Johor
Bumi Melayu terasa serentak mengumpulkan  silsilah sastra/....’

Ring dija-dija pateh selem putihe
Sapunika taler ring panegara iragane, nika mawinan mamanah
Ngardi karahajengan sareng sami antuk puisi
Santukan puisi punika ngardi landuh pikayun
Sida ngawetuang sang sadu dharma (LRS)

‘Di mana-mana hitam putih itu sama
Begitu pun di dalam negara kita, itulah sebabnya berpikir
Membuat kesejahteraan bersama lewat puisi
Oleh karena puisi itu membuat pikiran tenang
Mampu membuat orang berhati suci dan darma’
            Berdasarkan kutipan bait puisi di atas, terlihat jelas menuturkan pengalaman perjalanannya ke negeri seberang (Malaysia dan Singapura). Dalam lawatannya itu, ia berkisah bagaimana negara Malaysia menata lingkungan dengan baik, hukum berjalan secara adil, dan perhatian pemerintah terhadap sastra sangat tinggi “Jagat melayune karasa ingkup mupulang purana sastra”. Demikian halnya dengan negera Singapura, sebuah negara yang  sangat maju, tetap menjunjung tinggi hukum, menata lingkungan, dan adat istiadat “Tan papegatan angob manahe maosang uger awig miwah  tata cara” (LRS) ‘Tak henti-hentinya hati ini takjub (melihat) membicarakan tentang peraturan dan adat istiadat’. Rupanya pernyataan pengarang ini tidak berlebihan, lawatannya ke Malaysia dan Singapura (2—12 Juli 1986), seperti mencatat keasrian dua kota, yang masih kuat “dipagari” adat istiadat, hukum, dan perhatian terhadap kesusastraan sangat tinggi sehingga masyarakatnya sejahtera, jujur, dan baik “sida ngawetuang sang sadu dharma”.
            Melihat kerangka pikir yang disampaikan penyair I Gusti Putu Bawa Samar Gantang tentang konsep keselaran dan keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan dalam mencapai kesejahteraan haruslah dilandasi jiwa “sadu dharma”
‘suci dan darma’ dengan mengukuhkan “aab jagat” adat-istiadat yang dipayungi pelaksanaan hukum yang adil.

5. Simpulan
Puisi “Aab Jagat” salah satu puisi yang tergolong sastra Bali modern, lahir di tengah-tengah kehidupan sastra tradisi dari  kreativitas I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Dalam proses kreatifnya, terlihatlah alam dan religi menjadi bagian penting dalam kehidupan “nyastranya”. Jika ditelisik bait-bait PAJ, yang diunggah dalam tulisan ini memperlihatkan, kisah-kasih terhadap sahabat, letupan asmara, perjalanan religius (tirta yatra), dan pengalaman perjalanan pengarang dalam aktivitas kepenyairannya.  Muara dari semua itu, sebagaimana beberapa penyair asal Bali, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang juga banyak menggunakan idiom lokal yang menunjukkan sifat penggalian sajaknya dari dunia tempatan.
Lahirnya PAJ dijiwai oleh “tri hita karana”. Artinya, roh yang menjiwai puisinya dengan menggali dunia secara kesemestaan dengan nilai-nilai kearifan budaya Bali sebagai sumber. Persepsi keselarasan manusia dengan Tuhan, keselarasan         manusia dengan sesama, dan persepsi keselarasan manusia dengan lingkungan merupakan jiwa “kalanguan” PAJ dan harapan pengarang dalam mencapai kesempurnaan hidup.


    ======================= 8 ===========================





Daftar Pustaka

Agastia, IBG dkk. 2002. Rabindranath Tagore: Puisi Sepanjang Masa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
--------. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Samar Gantang, I Gusti Putu Bawa. 2009. Pupulan Puisi Bali Anyar Aab Jagat.    Surabaya: Paramita.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Bahasa: Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tim Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. (Terjemahan)    Melani             Budianta. Jakarta: Gramedia.






[1] . Kekuatan gaib yang memberi kecerdasan, keindahan, dan mujizat.
[2] . Nama warna kedua dalam stratifikasi sosial masyarakat Bali,
   yang dikenal dengan catruwarna (Brahmana, kesatria, Wesia, dan Sudra).

Minggu, 24 Juli 2011

DALANG I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF



DALANG  I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF

Tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak
orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri,
membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang
yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang
yang menghilang (dari) kegelapan malam dari
pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)
 (Muchtar Lubis, 1993)

1. Profil Dalang I Wayan Nardayana
Tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa  I Wayan Nardayana adalah salah satu dalang yang produktif berkarya dan memiliki integritas dalam jagat seni pertunjukan wayang kulit  Bali. Dalam jagat budaya wayang, mengutip pendapat Sydow, dalang jenis inilah yang disebut active bearers of traditions ‘orang yang memainkan boneka (wayang), menceritakan sebuah cerita, dan menyanyikan suatu nyanyian dalam pertunjukan’ atau ‘orang yang aktif memikul warisan budaya’ orang yang penting sebab di samping sebagai ‘penjaga gawang’ kebudayaan, juga sebagai pengembangan kebudayaan (Hutomo,1993:23).
Beranjak dari alasan di atas, aspirasi dan kreativitas I Wayan Nardayana dideskripsikan guna mengetahui latar belakang kehidupan, pendidikan, proses kreatif dalam pertunjukan,  dan visi dan misi berkesnian. Dimulai dari biografi-biografi yang telah ada, tulisan ini mencoba mendeskripsikan data-data dalang yang terkumpul beserta karya-karya yang telah dihasilkannya.
            Dalang  I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan dalang Cenk Blonk lahir dari pasangan I Ketut Tuwuh dan Ibu Ni Made Locer, pada tanggal 5 Juli 1966 di banjar Batannyuh Kelod, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten  Tabanan, Bali. Sebagai anak pertama, dari dua saudara dibesarkan di lingkungan desa. Adik kandungnya bernama I Made Susantha, seorang pengusaha ukir gaya Bali. Bapak dan Ibu pekerjaan sehari-harinya sebagai  petani.
            I Wayan Nardayana memasuki dunia pendidikan formal  SD tahun 1974 dan menamatkan pendidikan itu tahun 1980 dilanjutkan ke sekolah SMP mulai tahun 1981  dan tamat  tahun 1983, SMA mulai tahun 1983 berakhir tahun 1986. Setelah menjadi dalang terkenal, ia kemudian melanjutkan studi di perguruan tinggi ISI Denpasar mulai tahun 2004 menyelesaikan studi tahun 2007 dengan  mengambil jurusan pedalangan. Pada tahun 2007 ia melanjutkan kuliahnya pada pascasarjana (S2) di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dan menyelesaikan kuliah pada tahun 2007 dengan prestasi cumlaude pada Prodi Brahma Widya. Dengan demikian,  gelar yang telah didapat oleh I Wayan Nardayana, yakni S.Sn dan M.Phil. H (I Wayan Nardayana, S.Sn. M.Phil. H.). Pada saat wawancara dilakukan, ia kini diangkat menjadi dosen luar biasa di (IHDN)  dan bercita-cita  melanjutkan kuliah (S3).
Pria kelahiran Batannyuh Kelod ini menikah dengan Sagung Putri Puspadi (seniman tari) dari Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan pada tahun 1995. Dari pernikahan itu, lahir dua orang putri, yang pertama Ni Putu Ayu Bintang Sruthi, dan yang kedua bernama Ni Made Ayu Damar Sari Dewi. Melihat kondisi suami (I Wayan Nardayana) sangat sibuk, istri memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga—mengasuh, membimbing anak,  dan sebagai tukang banten di rumah.
Mertua I Wayan Nardayana bernama Anak Agung Made Raka dan Ni Made Sana, tinggal di Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan. Pekerjaan mertuanya sebagai petani. Melihat dari nama yang sesuai dengan stratifikasi sosial di Bali, nampaklah mertua laki-laki berasal dari golongan ksatria, sedangkan mertua perempuan berasal golongan masyarakat kebanyakan dan kini berstatus wang jero. Biasanya dipanggil Jero Made (Sana), sebaliknya Sagung Putri Puspadi (istri) yang berasal dari golongan kesatria menikah dengan I Wayan Nardayana dari kelas biasa, sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Bali disebut  (nyerod ‘turun’) warna.
Pengalaman kerja yang pernah dijalani I Wayan Nardayana sebelum memfokuskan diri pada seniman dalang, sebagai berikut:
(1)   sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata Denpasar dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.
(2)   sebagai tukang ukir still Bali dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995.
(3)   sebagai seniman topeng dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1995.
(4) pengurus LPD Banjar Batannyuh dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008.
Pengalaman kerja ini dan sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan memberi cambuk kepada dirinya untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu terlihat dari sekaa yang ada dalam wayang Cenk Blonk cukup banyak (+ 45 orang) adalah salah satu obsesinya.
2.  I Wayan Nardayana Seniman Kreatif-Inovatif
            Kehadiran dalang I Wayan Nardayana sebagai dalang  yang terkenal di tengah-tengah masyarakat Bali dilalui  proses yang panjang. Sejak kanak-kanak ia sudah berlatih menjadi dalang dengan menggunakan kertas karton sebagai wayang, lampu dari kaleng cat, dan kelir dari kain bekas serta gamelan dari tingklik. Selain dia, di desanya ada dua dalang cilik lagi, yang sering pentas di depan anak-anak sedesa, sehingga kompetisi sesama dalang cilik dalam lingkungan desa saat itu telah ada. 
Kegemarannya dengan dunia wayang membuat I Wayan Nardayana tidak pernah absen menonton wayang setiap ada pertunjukan, baik di desanya sendiri maupun di luar desa yang bisa dijangkau. Pertunjukan wayang yang paling sering ditonton, adalah pertunjukan yang dilakukan oleh dalang I Gusti Sudiartha dari Desa Kukuh dan Pan Yusa dari desanya sendiri, yaitu Belayu. Selain itu, ia pun memiliki kaset wayang yang didengarnya setiap saat.
            Dampak dari kegemarannya yang berlebihan terhadap wayang, raport triwulanan di kelas IV sekolah dasar (SD) sangat jelek dan ayahnya menjadi marah serta membakar seluruh peralatan wayang yang disayanginya itu. Jiwa seni dan kecintaannya terhadap dunia wayang tidak pernah padam, ketika memasuki dunia remaja tepatnya memasuki dunia pendidikan SLTP, ia kembali membuat wayang dan bertekad menjadi dalang dan juga membentuk sekaa topeng serta perkumpulan drama gong sesama temannya di kampung tanpa mengabaikan dunia pendidikan.
Memasuki masa remaja, yakni ketika duduk di SLTA (SMA Dwi Tunggal) antara tahun 1983—1986, kecintaannya terhadap dunia seni semakin tidak bisa dibendung lagi. Kesenian yang digandrungi, seperti drama gong, bondres, topeng, arja, dan wayang sendiri.  Setelah menamatkan studi di SMA Dwi Tunggal, ia mengkhususkan diri berlatih wayang lewat rekaman dan menonton pertunjukan yang ada di sekitar desa. Selain itu,  ia  membeli kulit sapi (telah siap dipakai wayang) seharga Rp 100.000 di Desa Darmasaba, Abiansemal, Badung untuk membuat wayang. Atas bantuan sahabatnya yang bernama Made Dira dari Banjar Poaya, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar berupa satu set perangkat pahat ukir, I Wayan Nardayana membuat sejumlah tokoh wayang sampai sejumlah wayang yang siap dipentaskan.
Setelah wayang dianggap cukup, ia kemudian minta petunjuk kepada Ida Pedanda dari Geria Belayu, Marga, Tabanan. Pada tahun 1992 Wayang dibuatkan upacara: diprayascita, dipasupati, dan dibakuh tepat pada hari suci Tumpek Wayang, pada Saniscara (Sabtu) Keliwon wuku Wayang. Pertunjukan perdananya dilakukan di pura Paruman, di desanya sendiri dengan lakon “Gugurnya Prabu Jarasanda”, Raja Magada oleh Bima. Sejak itulah, I Wayan Nardayana mengepakkan sayapnya ke daerah-daerah lain melakukan pertunjukan. Misi pertama yang dilakukan dalang ini untuk menarik minat penonton, adalah membuat penonton golongan muda tertarik dan tertawa dengan lawakan-lawakan yang erotis atau dengan kata lain kesenian wayang untuk hiburan.
Lewat lawakan-lawakan tokoh Nang Klenceng dan Nang Ceblong, label yang semula kesenian ini bernama Gita Loka ‘nyanyian alam’ berubah menjadi Cenk Blonk. Dalang tertarik menggunakan kata itu sebagai lebel karena sebutan penonton di Jempayah, Desa Mengwitani,  Badung, yang berdialog dengan sahabatnya mengatakan “ayo mebalih wayang Cengblong” dan masyarakat lainnya lebih mengenal dalang Cengblong dari nama dalang sesungguhnya. Untuk lebih keren dan mengikuti zaman serta terobsesi oleh  terkenalnya kata Cengblong dari Gita Loka, I Wayan Nardayana mengubah nama perkumpulan kesenian ini menjadi Cenk Blonk.
Keberhasilan  I Wayan Nardayana sebagai dalang yang sangat terkenal di Bali terlahir dari proses belajar; mengintip dalang saat pertunjukan, mempelajari kesenangan penonton, dan mengevaluasi kinerja (kreativitas) dalang sebelumnya. Ia tidak memiliki guru khusus dalam bidang pedalangan, ia belajar dengan cara: mendengarkan  kaset-kaset dalang-dalang terkenal sebelumnya, seperti dalang Made Jagra, I Dewa Made Rai Mesi, Ida Bagus Putu Amithaba, Ida Bagus Ngurah Buduk, dan Dalang Madra. Namun, tidak dapat dipungkiri dosen-dosen di perguruan tinggi  ISI (Bapak I Wayan Dibya, Bapak I Wayan Catra, I Dewa Ketut Wicaksana, dan Bapak Ketut Kodi ) dan dosen IHDN (Bapak Made Suastika, Nengah Dwija, I Wayan Sugita, dll.) peran guru besar dan dosen senior ini banyak memberi andil dalam seni yang digelutinya.
Berkat ketekunan, banyak belajar dari dalang-dalang sebelumnya, dan polesan dari intelektualitas kampus serta melakukan kreativitas seni, ia banyak membuat terosan-terobosan dalam seni pewayangan Bali. Kata kunci yang ia pegang teguh di dalam berkesenian ialah (1) kesenian wayang merupakan pertunjukan dengan permainan hati ke hati. Jika dalang sudah tidak enak dalam hati bagaimana masyarakat menerima dengan enak, (2) pengalaman lapangan adalah guru yang utama, ia selalu merekam situasi zaman, oleh Budiasa (2006)  disebut dalang perekam zaman, (3) memacu diri dengan bekerja keras, sehingga tidak ketinggalan zaman dan tidak merasa puas dengan apa yang telah diperbuat (tidak ada kata puncak dalam berkesenian). Ia selalu memperbaharui dialog-dialog yang dapat menggugah emosi penonton, dan (4) menguasai bahasa (Bali, Kawi-Pedalangan, dan bahasa Indonesia). Baginya, seorang dalang harus mampu melakukan perbedaan suara di antara tokoh, yang ia sebut (jenis suara kunyit, jahe, isen, dan cekuh) seidentik dengan pernyataan Ida Bagus Putu Amithaba tentang suara yang harus dikuasai dalang, yaitu suara talawya, dantya, dalem, dan sengau). Bandingkan dengan suara dalang Jawa (manis, merdu, rena, perkasa, dan gora).
Bakat yang dimiliki dan niat memajukan kesenian wayang adalah obsesinya, dengan demikian, ia pun melakukan studi di perguruan tinggi ISI dan IHDN Denpasar. Pengetahuan yang didapat dari ISI tentang tetikesan (gerak wayang di kelir, pakem, dan seni tabuh) misalnya dan retorika, etika, dan moral serta filsafat keagamaan di IHDN, ia kemas di dalam pertunjukan sehingga tontonan yang dilakukannya menjadi lebih menarik, baik dari segi pakeliran, tetikesan, gamelan, dan muatan-muatan dalam tuturan. Di samping itu, salah satu perjuangan intelektulitasnya akhir-kahir ini, adalah untuk meyakinkan umat di seluruh Nusantara, Bali khususnya untuk bersatu padu membangun bangsa yang dilandasi moral dan etika dengan tetap menjunjung nilai-nilai agama; agama apa pun tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat tidak baik. ‘Pang do meset-set sesai keto, nak onyo ajak manyama, ne nak baju gen melenan....’ ‘janganlan bertengkar setiap saat, kita semua saudara, kita hanya berbeda merek (baju) saja....’
Di bidang budaya umpamanya, ia berharap perlu mengajarkan kembali nilai-nilai budaya  yang kini seakan-akan telah melupakan kebijaksanaan masyarakat, hubungan antarmanusia, kekeluargaan, kemanusiaan, keberanian, kepahlawanan, kejujuran, kesetiaan yang terkandung dalam berbagai ajaran filsafat hidup, dalam pepatah tua, nilai-nilai moral, dan etika serta estetika dalam kerangka seni budaya. Inilah kerangka sekaligus landasan tempat melakukan kreativitas intelektual, budaya, dan seni.
3. Visi dan Misi  I Wayan Nardayana Berkesenian
            Kehadiran dalang Cenk Blonk di tengah-tengah masyarakat, mampu memberi warna dan corak tersendiri dalam jagat pewayangan Bali. Pada awal kehadirannya pun tidak lepas dari pro dan kontra dalam masyarakat penggemar wayang yang telah mapan dengan suguhan-suguhan pertunjukan wayang tradisi, yang taat dengan pakem-pakem yang telah mempola. Beranjak dari situasi inilah, dalang I Wayan Nardayana semakin tertantang menjawab fenomena-fenomena kebiasaan masyarakat yang terpolakan oleh suguhan wayang tradisi,  menjadi biasa melihat suguhan pertunjukan wayang yang telah mengalami inovasi-inovasi, baik dari segi intrinsik (gaya dialog, pasiat, dan isi tuturan) maupun ekstrinsiknya (tata panggung, tata lampu, tabuh, dan struktur manajemen).
            Model yang dikemas dan inovasi-inovasi yang telah dilakukanya mengantarkan dalang yang mengagumi Dalang I Made Jagra (Bongkasa) karena retorika, cerdas, dan tidak membosankan itu,  semakin digandrungi dalam masyarakat Bali dan pernah menjadi duta wayang Bali ke tingkat nasional dan Asean, antara lain:
(1)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Indonesia, di Jakarta.
(2)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Asean di Malaysia.
(3)   sebagai dalang kehormatan di Istana Presiden, Jakarta.
(4)   beberapa kali pentas di Jakarta dan Cikeas Bogor.

Selain itu, beberapa penghargaan telah didapatnya, misalnya:          
(1)      Juara II pada Festival Wayang Babad dalam PKB tahun 1998.
(2)     Finalis Festival Drama Gong Mr. Brown se-Bali, Radio Menara 105 FM pada tahun 1999.
(3)      Juara Harapan I pada Lomba Topeng Pajegan dalam PKB XXIV, tahun 1999.
(4)     Bali Award 2007 oleh Majalah Bali Aga, sebagai sepuluh tokoh Pelestari Budaya Bali.
(5)      Piagam Penghargaan dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia dan Persatuan Pedalangan Indonesia, Jakarta, sebagai Dalang dengan Garap Iringan Terbaik.
(6)      Piagam Penghargaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni, dan Film, Jakarta, sebagai Pengembang Teater Wayang Kulit Gaya Bali.
(7)      Lila Adimanta Award 2009 oleh Radar Bali Music Award.

Melihat pengalaman pentas dan beberapa penghargaan yang diperoleh, tidak dapat dipungkiri bahwa seniman berkarya atau berkreativitas secara sadar tidak sadar mempunyai konsep-konsep tertentu yang berkaitan dengan sosio-kultural zamannya. Dengan kata lain, seniman berkarya tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi yang diembannya.  Adapun visi dan misi yang diemban I Wayan Nardayana dalam pertunjukan wayang kulit dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(1)   Pertunjukan wayang kulit, tidak hanya menjadi kesenian babali (pengiring upacara) tetapi sebagai kesenian balih-balihan (tontonan), yang mampu menghibur dan menuntun masyarakat ke jalan yang benar serta merombak keadaan yang buruk dalam masyarakat.
(2)   Menjadikan kesenian wayang kulit memiliki tempat yang “istimewa” dalam masyarakat. Hal ini disebabkan fungsi wayang, peran dalang, dan seni katanya dapat mendidik dan menyebarluaskan pengetahuan.
(3)   Mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
(4)   Melihat pentingnya wayang di dalam kehidupan orang Bali, maka dalam berkesenian hendaknya dilandaskan pada: logika, etika, dan estetika sehingga wayang kelak mampu menjadi identitas orang Bali serta mampu menjadi penjaga dan penyangga kebudayaan Bali khususnya dan kebudayaan Nusantara umumnya.
(5)   Dalam era globalisasi, citra wayang tetap mampu bertahan dengan kearifan lokal adiluhungnya.

4. Evolusi Pertunjukan Wayang Kulit Bali
          Awalnya pertunjukan yang dilakukan  I Wayan Nardayana bertumpu  pada pakem pertunjukan wayang kulit tradisonal Bali, yaitu tentang pakeliran, tabuh dari gender, (batelan kalau ngrameyana), dan pasiat, hal ini berlangsung antara tahun 1992 sampai dengan 1996. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, dalang I Wayan Nardayana telah melakukan perombakan besar-besaran, baik dari segi pakeliran, tata lampu, tabuhan, tetikesan, pasiatan serta dialog-dialog lebih mengutamakan muatan-muatan yang mengandung: logika, etika, dan estetika serta filsafat agama. Konsep yang dianut dalang dalam mengemas kesenian ini dilandasi oleh pertanyaan “mengapa kesenian wayang ditinggalkan penggemarnya?”
            Pertanyaan inilah membuat I Wayan Nardayana mencari jawabannya, yaitu dengan cara mentransformasi bentuk pertunjukan wayang sebelumnya, baik dari segi tetikesan, pakeliran, tata lampu, seni tabuh, pasiat, maupun dialog-dialog yang tidak hanya berstandarkan pakem wayang tradisonal Bali sebagai suguhan tiap pentas, tetapi ia telah “mengadopsi” bentuk ekstrinsik (dalam hal bentuk pakeliran, tata lampu, dan seni tabuh) model wayang Jawa. Dari segi intrinsik, memperbaharui gaya dialog, pasiat, dan memadukan isu-isu yang sedang hangat dalam masyarakat, kemudian dipakai dasar dialog (banyolan) dalam pertunjukan sehingga masyarakat pencinta wayang merasa terhibur dan terlibat dalam kesenian itu. Alasan memodernisasi pertunjukan  wayang kulit yang  lakukannya itu, agar kesenian wayang kulit dapat mensejajarkan diri dengan kesenian lainnya dan dapat mengimbangi zaman yang terus bergerak maju.
Berdasarkan tata panggung, tata lampu, tabuh,  lakon-lakon yang telah dipentaskan (Gugurnya Prabhu Jarasanda, Bima Swarga, Diah Ratna Takeshi, Asti  Sweta, Rudra Murti, Tebu Sala, Kumbakarna Lina, Titi Banda, Sutha Amrih Bapa, Diah Gagar Mayang, Katundung Ngada, Titi Bandha, Gatotkaca Anggugah, dan Lata Mausadhi (sedang digarap), penghargaan-penghargaan didapat, dan meniru kinerja dalang lain yang dikagumi, I Wayan Nardayana menjadi inspirasi dan kreativitas dalang-dalang selanjutnya. Keberhasilan itu ditunjukkan melalui indikator, di antaranya: (1) inovasi-inovasi dalam bentuk dan isi, (2) bahasa singkat, sederhana, dan penuh energi, (2) kebaruan isi, yaitu sesuai dengan semangat zaman, dan (3) retorika, dialog-dialog dapat menggugah emosi penonton.
            Proses kreativitas itu dilakukannya melalui proses yang panjang, tahap demi tahap, dan penyempurnaannya lewat pertunjukan dari satu lokasi ke lokasi lainnya; tanggapan masyarakat adalah gurunya. Lewat tanggapan masyarakat inilah, ia melakukan banyak perubahan-perubahan dalam gaya pertunjukan wayang kulit Bali dan ia menyebut perubahan itu melalui proses “evolusi” dalam berkarya. Prinsip lainnya yang ia pegang teguh untuk memajukan kesenian wayang, seperti yang dinyatakan  Muchtar Lubis (1993:284) bahwa
“tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri, membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang yang menghilang (dari) kegelapan malam dari pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)”.
            Pandangan inilah yang berpengaruh besar terhadap kejiwaan I Wayan Nardayana sehingga ia melakukan inovasi-inovasi dalam pertunjukan, oleh masyarakat Bali sering disebut pertunjukan wayang  “kontemporer", yaitu pertunjukan wayang masa kini yang memperlihatkan ekpresi intrinsik dan ekstrinsiknya dalam bentuk kekinian, bebas dari orientasi dan referensi pakem wayang yang telah mempola. Pandangan-pandangan masyarakat luas tentang dirinya menjadi bagian penting dalam berkarya, sehingga ia tidak pernah berhenti membuat terobosan-terobosan baru (inovatif) dalam pertunjukan. Intinya ia tidak ingin ditinggalkan pengemarnya gara-gara kemonoton  pentas, karena mengembalikan kepercayaan masyarakat sangat sulit (ini beranjak dari melihat pengalaman kesenian atau dalang-dalang sebelumnya), yang telah mengalami puncak, tidak mau introspeksi diri sehingga kesenian yang dipentaskannya monoton. Akibatnya, dalam pentas sering tidak diperhatikan, ditinggalkan penonton, dan bahkan jarang ditanggap orang.
Ia sangat bersyukur dan cukup bangga  apa yang dia peroleh serta optimis, karena masih ada lembaga dan seseorang yang menghargai wayang di saat kehidupan yang dikatakannya serba bisnis (pis ‘uang’). Diakuinya, sebagai seorang dalang yang terpenting baginya adalah pertunjukannya berterima di hati masyarakat. Dengan rendah hati, dia memohon kritik dan saran dari para penonton, penikmat wayang, dan peneliti, agar pertunjukan yang telah dilakukannya ditanggapi demi kemajuan kesenian wayang  itu sendiri.
Akhir dialog, I Wayan Nardayana berharap kepada generasi muda  supaya memaknai pertunjukan wayang, karena tokoh-tokoh wayang memiliki watak yang melambangkan watak manusia dan menggali nilai-nilai positif serta dapat menangkap filosofi yang terkandung dalam tuturan cerita.