Minggu, 24 Juli 2011

DALANG I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF



DALANG  I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF

Tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak
orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri,
membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang
yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang
yang menghilang (dari) kegelapan malam dari
pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)
 (Muchtar Lubis, 1993)

1. Profil Dalang I Wayan Nardayana
Tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa  I Wayan Nardayana adalah salah satu dalang yang produktif berkarya dan memiliki integritas dalam jagat seni pertunjukan wayang kulit  Bali. Dalam jagat budaya wayang, mengutip pendapat Sydow, dalang jenis inilah yang disebut active bearers of traditions ‘orang yang memainkan boneka (wayang), menceritakan sebuah cerita, dan menyanyikan suatu nyanyian dalam pertunjukan’ atau ‘orang yang aktif memikul warisan budaya’ orang yang penting sebab di samping sebagai ‘penjaga gawang’ kebudayaan, juga sebagai pengembangan kebudayaan (Hutomo,1993:23).
Beranjak dari alasan di atas, aspirasi dan kreativitas I Wayan Nardayana dideskripsikan guna mengetahui latar belakang kehidupan, pendidikan, proses kreatif dalam pertunjukan,  dan visi dan misi berkesnian. Dimulai dari biografi-biografi yang telah ada, tulisan ini mencoba mendeskripsikan data-data dalang yang terkumpul beserta karya-karya yang telah dihasilkannya.
            Dalang  I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan dalang Cenk Blonk lahir dari pasangan I Ketut Tuwuh dan Ibu Ni Made Locer, pada tanggal 5 Juli 1966 di banjar Batannyuh Kelod, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten  Tabanan, Bali. Sebagai anak pertama, dari dua saudara dibesarkan di lingkungan desa. Adik kandungnya bernama I Made Susantha, seorang pengusaha ukir gaya Bali. Bapak dan Ibu pekerjaan sehari-harinya sebagai  petani.
            I Wayan Nardayana memasuki dunia pendidikan formal  SD tahun 1974 dan menamatkan pendidikan itu tahun 1980 dilanjutkan ke sekolah SMP mulai tahun 1981  dan tamat  tahun 1983, SMA mulai tahun 1983 berakhir tahun 1986. Setelah menjadi dalang terkenal, ia kemudian melanjutkan studi di perguruan tinggi ISI Denpasar mulai tahun 2004 menyelesaikan studi tahun 2007 dengan  mengambil jurusan pedalangan. Pada tahun 2007 ia melanjutkan kuliahnya pada pascasarjana (S2) di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dan menyelesaikan kuliah pada tahun 2007 dengan prestasi cumlaude pada Prodi Brahma Widya. Dengan demikian,  gelar yang telah didapat oleh I Wayan Nardayana, yakni S.Sn dan M.Phil. H (I Wayan Nardayana, S.Sn. M.Phil. H.). Pada saat wawancara dilakukan, ia kini diangkat menjadi dosen luar biasa di (IHDN)  dan bercita-cita  melanjutkan kuliah (S3).
Pria kelahiran Batannyuh Kelod ini menikah dengan Sagung Putri Puspadi (seniman tari) dari Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan pada tahun 1995. Dari pernikahan itu, lahir dua orang putri, yang pertama Ni Putu Ayu Bintang Sruthi, dan yang kedua bernama Ni Made Ayu Damar Sari Dewi. Melihat kondisi suami (I Wayan Nardayana) sangat sibuk, istri memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga—mengasuh, membimbing anak,  dan sebagai tukang banten di rumah.
Mertua I Wayan Nardayana bernama Anak Agung Made Raka dan Ni Made Sana, tinggal di Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan. Pekerjaan mertuanya sebagai petani. Melihat dari nama yang sesuai dengan stratifikasi sosial di Bali, nampaklah mertua laki-laki berasal dari golongan ksatria, sedangkan mertua perempuan berasal golongan masyarakat kebanyakan dan kini berstatus wang jero. Biasanya dipanggil Jero Made (Sana), sebaliknya Sagung Putri Puspadi (istri) yang berasal dari golongan kesatria menikah dengan I Wayan Nardayana dari kelas biasa, sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Bali disebut  (nyerod ‘turun’) warna.
Pengalaman kerja yang pernah dijalani I Wayan Nardayana sebelum memfokuskan diri pada seniman dalang, sebagai berikut:
(1)   sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata Denpasar dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.
(2)   sebagai tukang ukir still Bali dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995.
(3)   sebagai seniman topeng dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1995.
(4) pengurus LPD Banjar Batannyuh dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008.
Pengalaman kerja ini dan sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan memberi cambuk kepada dirinya untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu terlihat dari sekaa yang ada dalam wayang Cenk Blonk cukup banyak (+ 45 orang) adalah salah satu obsesinya.
2.  I Wayan Nardayana Seniman Kreatif-Inovatif
            Kehadiran dalang I Wayan Nardayana sebagai dalang  yang terkenal di tengah-tengah masyarakat Bali dilalui  proses yang panjang. Sejak kanak-kanak ia sudah berlatih menjadi dalang dengan menggunakan kertas karton sebagai wayang, lampu dari kaleng cat, dan kelir dari kain bekas serta gamelan dari tingklik. Selain dia, di desanya ada dua dalang cilik lagi, yang sering pentas di depan anak-anak sedesa, sehingga kompetisi sesama dalang cilik dalam lingkungan desa saat itu telah ada. 
Kegemarannya dengan dunia wayang membuat I Wayan Nardayana tidak pernah absen menonton wayang setiap ada pertunjukan, baik di desanya sendiri maupun di luar desa yang bisa dijangkau. Pertunjukan wayang yang paling sering ditonton, adalah pertunjukan yang dilakukan oleh dalang I Gusti Sudiartha dari Desa Kukuh dan Pan Yusa dari desanya sendiri, yaitu Belayu. Selain itu, ia pun memiliki kaset wayang yang didengarnya setiap saat.
            Dampak dari kegemarannya yang berlebihan terhadap wayang, raport triwulanan di kelas IV sekolah dasar (SD) sangat jelek dan ayahnya menjadi marah serta membakar seluruh peralatan wayang yang disayanginya itu. Jiwa seni dan kecintaannya terhadap dunia wayang tidak pernah padam, ketika memasuki dunia remaja tepatnya memasuki dunia pendidikan SLTP, ia kembali membuat wayang dan bertekad menjadi dalang dan juga membentuk sekaa topeng serta perkumpulan drama gong sesama temannya di kampung tanpa mengabaikan dunia pendidikan.
Memasuki masa remaja, yakni ketika duduk di SLTA (SMA Dwi Tunggal) antara tahun 1983—1986, kecintaannya terhadap dunia seni semakin tidak bisa dibendung lagi. Kesenian yang digandrungi, seperti drama gong, bondres, topeng, arja, dan wayang sendiri.  Setelah menamatkan studi di SMA Dwi Tunggal, ia mengkhususkan diri berlatih wayang lewat rekaman dan menonton pertunjukan yang ada di sekitar desa. Selain itu,  ia  membeli kulit sapi (telah siap dipakai wayang) seharga Rp 100.000 di Desa Darmasaba, Abiansemal, Badung untuk membuat wayang. Atas bantuan sahabatnya yang bernama Made Dira dari Banjar Poaya, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar berupa satu set perangkat pahat ukir, I Wayan Nardayana membuat sejumlah tokoh wayang sampai sejumlah wayang yang siap dipentaskan.
Setelah wayang dianggap cukup, ia kemudian minta petunjuk kepada Ida Pedanda dari Geria Belayu, Marga, Tabanan. Pada tahun 1992 Wayang dibuatkan upacara: diprayascita, dipasupati, dan dibakuh tepat pada hari suci Tumpek Wayang, pada Saniscara (Sabtu) Keliwon wuku Wayang. Pertunjukan perdananya dilakukan di pura Paruman, di desanya sendiri dengan lakon “Gugurnya Prabu Jarasanda”, Raja Magada oleh Bima. Sejak itulah, I Wayan Nardayana mengepakkan sayapnya ke daerah-daerah lain melakukan pertunjukan. Misi pertama yang dilakukan dalang ini untuk menarik minat penonton, adalah membuat penonton golongan muda tertarik dan tertawa dengan lawakan-lawakan yang erotis atau dengan kata lain kesenian wayang untuk hiburan.
Lewat lawakan-lawakan tokoh Nang Klenceng dan Nang Ceblong, label yang semula kesenian ini bernama Gita Loka ‘nyanyian alam’ berubah menjadi Cenk Blonk. Dalang tertarik menggunakan kata itu sebagai lebel karena sebutan penonton di Jempayah, Desa Mengwitani,  Badung, yang berdialog dengan sahabatnya mengatakan “ayo mebalih wayang Cengblong” dan masyarakat lainnya lebih mengenal dalang Cengblong dari nama dalang sesungguhnya. Untuk lebih keren dan mengikuti zaman serta terobsesi oleh  terkenalnya kata Cengblong dari Gita Loka, I Wayan Nardayana mengubah nama perkumpulan kesenian ini menjadi Cenk Blonk.
Keberhasilan  I Wayan Nardayana sebagai dalang yang sangat terkenal di Bali terlahir dari proses belajar; mengintip dalang saat pertunjukan, mempelajari kesenangan penonton, dan mengevaluasi kinerja (kreativitas) dalang sebelumnya. Ia tidak memiliki guru khusus dalam bidang pedalangan, ia belajar dengan cara: mendengarkan  kaset-kaset dalang-dalang terkenal sebelumnya, seperti dalang Made Jagra, I Dewa Made Rai Mesi, Ida Bagus Putu Amithaba, Ida Bagus Ngurah Buduk, dan Dalang Madra. Namun, tidak dapat dipungkiri dosen-dosen di perguruan tinggi  ISI (Bapak I Wayan Dibya, Bapak I Wayan Catra, I Dewa Ketut Wicaksana, dan Bapak Ketut Kodi ) dan dosen IHDN (Bapak Made Suastika, Nengah Dwija, I Wayan Sugita, dll.) peran guru besar dan dosen senior ini banyak memberi andil dalam seni yang digelutinya.
Berkat ketekunan, banyak belajar dari dalang-dalang sebelumnya, dan polesan dari intelektualitas kampus serta melakukan kreativitas seni, ia banyak membuat terosan-terobosan dalam seni pewayangan Bali. Kata kunci yang ia pegang teguh di dalam berkesenian ialah (1) kesenian wayang merupakan pertunjukan dengan permainan hati ke hati. Jika dalang sudah tidak enak dalam hati bagaimana masyarakat menerima dengan enak, (2) pengalaman lapangan adalah guru yang utama, ia selalu merekam situasi zaman, oleh Budiasa (2006)  disebut dalang perekam zaman, (3) memacu diri dengan bekerja keras, sehingga tidak ketinggalan zaman dan tidak merasa puas dengan apa yang telah diperbuat (tidak ada kata puncak dalam berkesenian). Ia selalu memperbaharui dialog-dialog yang dapat menggugah emosi penonton, dan (4) menguasai bahasa (Bali, Kawi-Pedalangan, dan bahasa Indonesia). Baginya, seorang dalang harus mampu melakukan perbedaan suara di antara tokoh, yang ia sebut (jenis suara kunyit, jahe, isen, dan cekuh) seidentik dengan pernyataan Ida Bagus Putu Amithaba tentang suara yang harus dikuasai dalang, yaitu suara talawya, dantya, dalem, dan sengau). Bandingkan dengan suara dalang Jawa (manis, merdu, rena, perkasa, dan gora).
Bakat yang dimiliki dan niat memajukan kesenian wayang adalah obsesinya, dengan demikian, ia pun melakukan studi di perguruan tinggi ISI dan IHDN Denpasar. Pengetahuan yang didapat dari ISI tentang tetikesan (gerak wayang di kelir, pakem, dan seni tabuh) misalnya dan retorika, etika, dan moral serta filsafat keagamaan di IHDN, ia kemas di dalam pertunjukan sehingga tontonan yang dilakukannya menjadi lebih menarik, baik dari segi pakeliran, tetikesan, gamelan, dan muatan-muatan dalam tuturan. Di samping itu, salah satu perjuangan intelektulitasnya akhir-kahir ini, adalah untuk meyakinkan umat di seluruh Nusantara, Bali khususnya untuk bersatu padu membangun bangsa yang dilandasi moral dan etika dengan tetap menjunjung nilai-nilai agama; agama apa pun tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat tidak baik. ‘Pang do meset-set sesai keto, nak onyo ajak manyama, ne nak baju gen melenan....’ ‘janganlan bertengkar setiap saat, kita semua saudara, kita hanya berbeda merek (baju) saja....’
Di bidang budaya umpamanya, ia berharap perlu mengajarkan kembali nilai-nilai budaya  yang kini seakan-akan telah melupakan kebijaksanaan masyarakat, hubungan antarmanusia, kekeluargaan, kemanusiaan, keberanian, kepahlawanan, kejujuran, kesetiaan yang terkandung dalam berbagai ajaran filsafat hidup, dalam pepatah tua, nilai-nilai moral, dan etika serta estetika dalam kerangka seni budaya. Inilah kerangka sekaligus landasan tempat melakukan kreativitas intelektual, budaya, dan seni.
3. Visi dan Misi  I Wayan Nardayana Berkesenian
            Kehadiran dalang Cenk Blonk di tengah-tengah masyarakat, mampu memberi warna dan corak tersendiri dalam jagat pewayangan Bali. Pada awal kehadirannya pun tidak lepas dari pro dan kontra dalam masyarakat penggemar wayang yang telah mapan dengan suguhan-suguhan pertunjukan wayang tradisi, yang taat dengan pakem-pakem yang telah mempola. Beranjak dari situasi inilah, dalang I Wayan Nardayana semakin tertantang menjawab fenomena-fenomena kebiasaan masyarakat yang terpolakan oleh suguhan wayang tradisi,  menjadi biasa melihat suguhan pertunjukan wayang yang telah mengalami inovasi-inovasi, baik dari segi intrinsik (gaya dialog, pasiat, dan isi tuturan) maupun ekstrinsiknya (tata panggung, tata lampu, tabuh, dan struktur manajemen).
            Model yang dikemas dan inovasi-inovasi yang telah dilakukanya mengantarkan dalang yang mengagumi Dalang I Made Jagra (Bongkasa) karena retorika, cerdas, dan tidak membosankan itu,  semakin digandrungi dalam masyarakat Bali dan pernah menjadi duta wayang Bali ke tingkat nasional dan Asean, antara lain:
(1)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Indonesia, di Jakarta.
(2)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Asean di Malaysia.
(3)   sebagai dalang kehormatan di Istana Presiden, Jakarta.
(4)   beberapa kali pentas di Jakarta dan Cikeas Bogor.

Selain itu, beberapa penghargaan telah didapatnya, misalnya:          
(1)      Juara II pada Festival Wayang Babad dalam PKB tahun 1998.
(2)     Finalis Festival Drama Gong Mr. Brown se-Bali, Radio Menara 105 FM pada tahun 1999.
(3)      Juara Harapan I pada Lomba Topeng Pajegan dalam PKB XXIV, tahun 1999.
(4)     Bali Award 2007 oleh Majalah Bali Aga, sebagai sepuluh tokoh Pelestari Budaya Bali.
(5)      Piagam Penghargaan dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia dan Persatuan Pedalangan Indonesia, Jakarta, sebagai Dalang dengan Garap Iringan Terbaik.
(6)      Piagam Penghargaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni, dan Film, Jakarta, sebagai Pengembang Teater Wayang Kulit Gaya Bali.
(7)      Lila Adimanta Award 2009 oleh Radar Bali Music Award.

Melihat pengalaman pentas dan beberapa penghargaan yang diperoleh, tidak dapat dipungkiri bahwa seniman berkarya atau berkreativitas secara sadar tidak sadar mempunyai konsep-konsep tertentu yang berkaitan dengan sosio-kultural zamannya. Dengan kata lain, seniman berkarya tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi yang diembannya.  Adapun visi dan misi yang diemban I Wayan Nardayana dalam pertunjukan wayang kulit dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(1)   Pertunjukan wayang kulit, tidak hanya menjadi kesenian babali (pengiring upacara) tetapi sebagai kesenian balih-balihan (tontonan), yang mampu menghibur dan menuntun masyarakat ke jalan yang benar serta merombak keadaan yang buruk dalam masyarakat.
(2)   Menjadikan kesenian wayang kulit memiliki tempat yang “istimewa” dalam masyarakat. Hal ini disebabkan fungsi wayang, peran dalang, dan seni katanya dapat mendidik dan menyebarluaskan pengetahuan.
(3)   Mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
(4)   Melihat pentingnya wayang di dalam kehidupan orang Bali, maka dalam berkesenian hendaknya dilandaskan pada: logika, etika, dan estetika sehingga wayang kelak mampu menjadi identitas orang Bali serta mampu menjadi penjaga dan penyangga kebudayaan Bali khususnya dan kebudayaan Nusantara umumnya.
(5)   Dalam era globalisasi, citra wayang tetap mampu bertahan dengan kearifan lokal adiluhungnya.

4. Evolusi Pertunjukan Wayang Kulit Bali
          Awalnya pertunjukan yang dilakukan  I Wayan Nardayana bertumpu  pada pakem pertunjukan wayang kulit tradisonal Bali, yaitu tentang pakeliran, tabuh dari gender, (batelan kalau ngrameyana), dan pasiat, hal ini berlangsung antara tahun 1992 sampai dengan 1996. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, dalang I Wayan Nardayana telah melakukan perombakan besar-besaran, baik dari segi pakeliran, tata lampu, tabuhan, tetikesan, pasiatan serta dialog-dialog lebih mengutamakan muatan-muatan yang mengandung: logika, etika, dan estetika serta filsafat agama. Konsep yang dianut dalang dalam mengemas kesenian ini dilandasi oleh pertanyaan “mengapa kesenian wayang ditinggalkan penggemarnya?”
            Pertanyaan inilah membuat I Wayan Nardayana mencari jawabannya, yaitu dengan cara mentransformasi bentuk pertunjukan wayang sebelumnya, baik dari segi tetikesan, pakeliran, tata lampu, seni tabuh, pasiat, maupun dialog-dialog yang tidak hanya berstandarkan pakem wayang tradisonal Bali sebagai suguhan tiap pentas, tetapi ia telah “mengadopsi” bentuk ekstrinsik (dalam hal bentuk pakeliran, tata lampu, dan seni tabuh) model wayang Jawa. Dari segi intrinsik, memperbaharui gaya dialog, pasiat, dan memadukan isu-isu yang sedang hangat dalam masyarakat, kemudian dipakai dasar dialog (banyolan) dalam pertunjukan sehingga masyarakat pencinta wayang merasa terhibur dan terlibat dalam kesenian itu. Alasan memodernisasi pertunjukan  wayang kulit yang  lakukannya itu, agar kesenian wayang kulit dapat mensejajarkan diri dengan kesenian lainnya dan dapat mengimbangi zaman yang terus bergerak maju.
Berdasarkan tata panggung, tata lampu, tabuh,  lakon-lakon yang telah dipentaskan (Gugurnya Prabhu Jarasanda, Bima Swarga, Diah Ratna Takeshi, Asti  Sweta, Rudra Murti, Tebu Sala, Kumbakarna Lina, Titi Banda, Sutha Amrih Bapa, Diah Gagar Mayang, Katundung Ngada, Titi Bandha, Gatotkaca Anggugah, dan Lata Mausadhi (sedang digarap), penghargaan-penghargaan didapat, dan meniru kinerja dalang lain yang dikagumi, I Wayan Nardayana menjadi inspirasi dan kreativitas dalang-dalang selanjutnya. Keberhasilan itu ditunjukkan melalui indikator, di antaranya: (1) inovasi-inovasi dalam bentuk dan isi, (2) bahasa singkat, sederhana, dan penuh energi, (2) kebaruan isi, yaitu sesuai dengan semangat zaman, dan (3) retorika, dialog-dialog dapat menggugah emosi penonton.
            Proses kreativitas itu dilakukannya melalui proses yang panjang, tahap demi tahap, dan penyempurnaannya lewat pertunjukan dari satu lokasi ke lokasi lainnya; tanggapan masyarakat adalah gurunya. Lewat tanggapan masyarakat inilah, ia melakukan banyak perubahan-perubahan dalam gaya pertunjukan wayang kulit Bali dan ia menyebut perubahan itu melalui proses “evolusi” dalam berkarya. Prinsip lainnya yang ia pegang teguh untuk memajukan kesenian wayang, seperti yang dinyatakan  Muchtar Lubis (1993:284) bahwa
“tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri, membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang yang menghilang (dari) kegelapan malam dari pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)”.
            Pandangan inilah yang berpengaruh besar terhadap kejiwaan I Wayan Nardayana sehingga ia melakukan inovasi-inovasi dalam pertunjukan, oleh masyarakat Bali sering disebut pertunjukan wayang  “kontemporer", yaitu pertunjukan wayang masa kini yang memperlihatkan ekpresi intrinsik dan ekstrinsiknya dalam bentuk kekinian, bebas dari orientasi dan referensi pakem wayang yang telah mempola. Pandangan-pandangan masyarakat luas tentang dirinya menjadi bagian penting dalam berkarya, sehingga ia tidak pernah berhenti membuat terobosan-terobosan baru (inovatif) dalam pertunjukan. Intinya ia tidak ingin ditinggalkan pengemarnya gara-gara kemonoton  pentas, karena mengembalikan kepercayaan masyarakat sangat sulit (ini beranjak dari melihat pengalaman kesenian atau dalang-dalang sebelumnya), yang telah mengalami puncak, tidak mau introspeksi diri sehingga kesenian yang dipentaskannya monoton. Akibatnya, dalam pentas sering tidak diperhatikan, ditinggalkan penonton, dan bahkan jarang ditanggap orang.
Ia sangat bersyukur dan cukup bangga  apa yang dia peroleh serta optimis, karena masih ada lembaga dan seseorang yang menghargai wayang di saat kehidupan yang dikatakannya serba bisnis (pis ‘uang’). Diakuinya, sebagai seorang dalang yang terpenting baginya adalah pertunjukannya berterima di hati masyarakat. Dengan rendah hati, dia memohon kritik dan saran dari para penonton, penikmat wayang, dan peneliti, agar pertunjukan yang telah dilakukannya ditanggapi demi kemajuan kesenian wayang  itu sendiri.
Akhir dialog, I Wayan Nardayana berharap kepada generasi muda  supaya memaknai pertunjukan wayang, karena tokoh-tokoh wayang memiliki watak yang melambangkan watak manusia dan menggali nilai-nilai positif serta dapat menangkap filosofi yang terkandung dalam tuturan cerita.



TRANSFORMASI KEARIFAN LOKAL MELALUI UNGKAPAN LISAN DALAM PERTUNJUKAN WAYANG BALI

TRANSFORMASI KEARIFAN LOKAL MELALUI UNGKAPAN LISAN
DALAM PERTUNJUKAN WAYANG BALI

I Made Budiasa
Budiasa63@yahoo.com

ABSTRAK

            Kebudayaan Bali seiring dengan perkembangan zaman selalu mengalami perubahan. Kebudayaan yang senantiasa berkembang itu, merupakan suatu yang wajar seiring dengan  dinamika hidup manusia. Berbicara tentang fenomena kebudayaan Bali, tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai fenomena kesenian Bali. Perubahan kesenian Bali dalam  bentuk dan isi terjadi akibat langkah-langkah inovasi dan kreasi dari para seniman. Produk-produk kesenian yang muncul kemudian akibat daya inovatif dan kreatif tersebut, merupakan upaya pengayaan seni   tanpa harus benar-benar lepas dari pakem seni tradisi.
                Wayang kulit Bali  sebagai salah satu kesenian tradisi tidak luput dari upaya pengayaan dalam sisi proverti pentas, tokoh, dan lakon. Upaya dalang melakukan langkah pengayaan ini dimaksudkan agar pertunjukan wayang menjadi lebih menarik sehingga semakin dinikmati oleh masyarakat. Jika banyak masyarakat berminat menonton wayang, maka misi pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan  wayang dapat diwujudkan. Jika ketiga misi ini terwujud, maka akan terbangun suatu masyarakat yang memiliki daya apresiatif dan sekaligus juga masyarakat yang memiliki moralitas dan keimanan tinggi akibat sentuhan halus nilai-nilai adiluhung wayang.   
                Pementasan wayang kulit, kalau dilihat dari sisi pertunjukan, merupakan seni pertunjukan yang “sederhana”. Artinya, pertunjukan wayang kulit secara umum hanya didukung piranti pertunjukan yang terdiri atas kelir (layar), lampu blencong, gender (tabuh pengiring), pengeras suara, dan seperangkat wayang yang terbuat dari kulit. Piranti pentas yang sangat sederhana ini jika dibandingkan dengan pertunjukan modern memang bukan  sesuatu yang dapat menarik minat penonton untuk menyaksikan wayang kulit. Pertanyaan yang kemudian muncul:  Apa sesungguhnya yang membuat wayang kulit masih bertahan dan pentas wayang oleh dalang tertentu  sangat diminati oleh penonton?  Jawabannnya ternyata pada “kekuatan bahasa” sang dalang. Dalang sebagai sutradara sekaligus sebagai pemeran takoh dengan  language game  (permainan bahasa) mampu mengemas pertunjukan menjadi menarik dan memuatinya dengan pesan moral. Salah satu permainan bahasa yang sering dilakukan oleh dalang adalah dengan memanfaatkan ungkapan lisan. Penggunaan ungkapan lisan dalam wayang kulit Bali merupakan salah satu cara bahasa yang mempertimbangkan efek estetik, efek bunyi (sound), efek humor dan efek  muatan makna yang terkandung di dalamnya.
                Ungkapan lisan yang terdapat pada wayang kulit Bali ternyata tidak semata-mata permainan bahasa. Ungkapan lisan terbukti mampu mentransformasikan kearifan lokal masyarakat Bali. Transformasi kearifan lokal dalam ungkapan lisan berfungsi tidak semata untuk menghibur, tetapi juga memiliki fungsi  wahana pendidikan sosial dan religi. Dengan demikian, masalah yang perlu dikaji, yakni: (1) bagaimana profil dan proses kreatif dalang-dalang  di Bali? (2)  ungkapan-ungkapan tradisional apa saja yang ditransformasikan ke dalam kearifan lokal? (3) apa fungsi dan makna transformasi ungkapan-ungkapan lisan itu dalam masyarakat?

Kata kunci : transformasi, ungkapan lisan, wayang kulit Bali

============================================================

1.      Pendahuluan
Mengamati dunia kebudayaan, khususnya kesenian pada tahun melenium atau tahun 2000 ke atas, terlihatlah suatu perubahan yang sangat mencolok utamanya dalam masalah aktivitas cipta, ide, dan penggarapan kesenian. Hal ini tentu saja membawa dampak yang sangat besar, baik terhadap perkembangan kesenian, seniman, dan masyarakat. Dalam dunia pertunjukan wayang kulit misalnya, perubahan itu sangat kentara sekali terlihat, dalang banyak melakukan inovasi-inovasi, baik dalam seni tabuh, pakeliran, tetikesan (gerak wayang) maupun olah suara (tuturan) yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat penggemar. Khusus dalam olah suara, dalang melakukan suatu cara, seperti yang pernah  diungkapkan oleh  Horatius yang dikenal dengan semboyan  utile dan dulce, prodesse dan delectare ‘bermanfaat’ dan ‘nikmat’ (Teeuw, 1988:155; Ratna, 2005: 125) sangat kentara terlihat dari banyaknya ungkapan-ungkapan yang ada dalam tuturan cerita. Dalang menyampaikan hal itu, jelas mempunyai tujuan, yaitu dapat menghibur penonton dan hiburan itu ada manfaatnya.
Berdasarkan data Diknas Bidang Kesenian Provinsi Bali tahun 2002, tercatat 402 seniman dalang, di luar dalang cilik. Dari 402 orang dalang itu, dipilih enam dalang dengan enam lakon sebagai wakil dari lima kabupaten di Bali sebagai sumber tulisan. Adapun dalang-dalang itu: (1) I Dewa Made Rai Mesi (Kabupaten Bangli) dengan lakon “Mina Kencana”, (2) I Made Sidja (Kabupaten Gianyar) dengan lakon “Aswamedha Yadnya”, (3) Ida Bagus Putu Mithaba (Kabupaten Tabanan) dengan lakon “Sapta Mangedanin”, (4) I Wayan Surna (Kabupaten Jembrana) dengan lakon “Pancasona”, (5) I Wayan Nardayana (Kabupaten Tabanan) dengan lakon “Gajah Putih,”dan (6) I Ketut Muada (Kabupaten Badung) dengan lakon “Tualen Caru.   Pilihan objek berdasarkan pertimbangan: (1) dalang tersebut sangat terkenal kreatif inovatif, (2) sering melakukan pertunjukan dan eksis dalam menyajikan pendidikan, penerangan serta aktivitasnya dalam budaya di Bali, dan (3) cukup banyak ungkapan-ungkapan yang disampaikan dan menarik bagi masyarakat. Di samping itu, keenam dalang juga mampu mempertahankan wayang kulit sebagai seni tradisi adiluhung, yang dapat berfungsi sebagai mass-media, mass-entertainment, dan mass-infotainment.
Melihat keberadaan itu, topik “Transformasi Kearifan Lokal Melalui Ungkapan Lisan dalam  Pertunjukan Wayang  Bali”  cukup penting disampaikan dalam makalah ini.  Ada beberapa hal menarik yang dapat disimak dari topik atas, antara lain. Pertama, abstraksi konsep kearifan lokal yang terkandung dalam tuturan dalang ternyata menyodorkan sebuah konsep nilai yang perlu dimaknai oleh masyarakat pendukungnya. Kedua, ungkapan-ungkapan yang disampaikan dalang menyajikan suatu gagasan yang kompleks tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali yang disampaikan dengan suatu ungkapan bahasa yang praktis dan estetis. Ketiga, memberikan kemudahan untuk menarik garis lintas budaya daerah dan nasional, konstribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan serta mengevokasi kemampuan manusia dalam membangkitkan citra mengenai kehidupan. Untuk itu, ada tiga permasalahan yang penting diungkap, yakni: (1)  profil dan proses kreatif  keenam  dalang Bali, (2) kearifan lokal yang ditransformasikan ke dalam ungkapan tradisional, dan (3) fungsi dan makna transformasi ungkapan-ungkapan lisan itu dalam masyarakat. Pentingnya masalah itu diungkap: (1) untuk mengetahui profil dan proses kreativitas dalang-dalang  Bali; (2)  mengetahui kearifan lokal yang ditrasformasikan ke dalam bentuk ungkapan lisan; (3) mendeskripsikan fungsi dan makna transformasi ungkapan tradisional bagi masyarakat pelaku atau pemilik kebudayaan.
Transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1209) dinyatakan: (1) perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. (2) perubahan struktur gramatikal menjadi gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Kearifan lokal juga sering disebut warna lokal adalah salah satu simbol jati diri yang selalu ada di setiap daerah di Indonesia (Yetti, 2011: 28). Mendahului pernyataan itu, Soebadio (1986:23) menyebut local wisdom, merupakan kemampuan suatu masyarakat untuk menyerap, menyeleksi, dan mengolah secara aktif suatu pengaruh asing sehingga lahir suatu ciptaan baru yang memiliki olah budaya asing tersebut. Hal tersebut menyiratkan bahwa kearifan lokal merupakan salah satu  cara dari suatu masyarakat dalam mempertahankan kelangsungan komunitas dan budaya yang dimiliki.
            Ungkapan merupakan sebuah konsep pada ranah folklor yang digunakan sebagai suatu istilah bagi salah satu jenis folklor. Sebagaimana dijelaskan oleh Danandjaja (1991: 22, 171) jenis folklor di Indonesia dapat dibedakan atas (a) folklor lisan dan (b) folklor sebagian lisan, dan (3) folklor bukan lisan. Dalam tulisan ini kajian memfokuskan pada folklor lisan, yang di dalamnya terdapat ungkapan tradisional, seperti sesonggan, bladbadan, wewangsalan, dan sesenggakan. Ungkapan lisan dapat diartikan sebagai sesuatu bahasa kias (basa rinenga) yang digunakan sebagai sarana keindahan (rerasmen) atau pemanis bahasa (basa panglengut) dan sebagai selentingan yang bernada humor (pasiakranan) dalam komunikasi sehari-hari, baik dalam situasi resmi (mabebaosan) maupun pada saat senda gurau (magegonjakan) (Simpen, 1999: 5). Dengan demikian,  transformasi kearifan lokal melalui ungkapan lisan, adalah kemampuan suatu masyarakat untuk menyerap, menyeleksi, dan mengolah bahasa kias yang disampaikan lewat tuturan secara aktif sehingga kebertahanan komunitas dan budaya dapat terjaga.
     
2. Profil dan Proses Kreatif Dalang Bali
Latar belakang penulisan proses kreatif dilandasi pemikiran bahwa ciri utama manusia bukan fisik atau metafisik, melainkan karyanya. Keturunan, kekayaan, dan  berbagai status sosial lainnya hanyalah pelengkap. Bahasa, seni, mitos, religi, sejarah, dan ilmu pengetahuan serta berbagai hasil kreativitas lain yang secara keseluruhan dihasilkan oleh emosi dan intelektual, adalah hasil-hasil peradaban manusia yang dianggap penting. Demikian halnya, enam dalang Bali menjadi penting ketika ada proses kreatif di dalamnya dan mampu memberikan suguhan-suguhan menarik, tuntunan, dan ilmu pengetahuan dalam setiap pertunjukan yang dilakukannya. Untuk itu, berikut diuraikan profil dan proses kreatif enam dalang Bali.
2.1 Profil dan  Proses Kreatif Dalang I Dewa Made Rai Mesi
         I Dewa Made Rai Mesi dilahirkan pada tahun 1915 di Banjar Kawan, Bangli dari pasangan I Dewa Kompiang Mesi (alm.) dan Ni Wayan Muter (alm.).  Leluhur I Dewa Made Rai Mesi, dari pihak ayah berasal dari golongan ksatria, sedangkan ibunya dari keluarga biasanya yang berstatus wang jero. I Dewa Made Rai Mesi adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia tamat sekolah Volke School (setara SD) pada tahun 1936. Belajar mendalang pada Wayan Subuh tahun 1942. Pada tahun itu juga ia menerima tawaran pemerintahan Jepang mengikuti sekolah pelayaran di Makasar. Ketika Jepang kalah perang (tahun 1944), ia melanjutkan dunia pedalangannya.
            Masa keemasan I Dewa Made Rai Mesi menjadi dalang pada tahun 1971—1991, banyak lakon dan beberapa daerah telah dijelajahinya, termasuk Jawa dan Sumatera (Lampung khususnya). Ia menjadi idola masyarakat pencinta wayang saat itu karena pementasan wayangnya berpegang teguh pada konvensi atau pakem-pakem yang sudah mempola dan merekam situasi zaman. Model ini ia kemas, sehingga penonton dengan setia menunggu setiap pementasannya. Dalam berkesenian, dalang I Dewa Made Rai Mesi mempunyai visi dan misi: (1) mempertahankan citra wayang sebagai tontonan yang mengaktualisasikan kearifan lokal yang hidup di masyarakat dan (2) wayang kulit Bali harus terus dikembangkan sesuai dengan dharma pewayangan dan pakem-pakem yang telah ada.
2.2 Profil dan  Proses Kreatif  Dalang I Made Sidja
            I Made Sidja lahir pada tahun 1933, di Banjar Bona, Desa Blahbatuh, Gianyar. Dalang Sidja dilahirkan di tengah-tengah masyarakat petani. Dunia pendidikan I Made Sidja hanya tamatan sekolah rakyat atau lebih dikenal dengan SR di zaman Jepang tahun 1942. I Made Sidja menikah dengan Ni Wayan Saprug. Dari perkawinannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, bernama I Nyoman Sanglah, Ni Ketut Sulandri, Ni Wayan Sasi, dan I Made Sidia dan dua anaknya lagi sudah meninggal. Ketika I Made Sidja kecil, ayahnya berkata bahwa ilmu pedalangan dan segala perlengkapan pewayangan bukan merupakan warisan langsung dari leluhurnya, melainkan wayang yang dipergunakan itu adalah hak dan milik puri.
            Berkat kerja keras dan menimba ilmu dari dalang-dalang sebelumnya, I Made Sidja sangat terkenal sebagai dalang di Bali, daerah Gianyar khususnya. Gaya tetikesan (gerak wayang) dan telek basa (adab bahasa) menjadi ciri khasnya, sehingga sampai saat ini, gaya tetikesan  Gianyar masih diakui dalam dunia pedalangan di Bali. Lewat keahlian inilah banyak dalang-dalang muda berguru padanya, I Wayan Ridi dari Banjar Getas, I Made Sidia dari Gianyar, dan I Wayan Surna dari Negara adalah murid-muridnya. Selain sebagai seniman dalang, ia juga sebagai cikal bakal berdirinya: (1) perkumpulan/Sekaa Calonarang (1955); (2)  mendirikan Sekaa Arja  (1960); (3) sekaa Parwa (1976) di Desa Bona, Gianyar; dan (4) pada tahun 1977 mencoba mementaskan Wayang Arja di Taman Budaya Ardhra Candra (Art Centre), Abian Kapas, Denpasar dalam rangka proyek pembinaan seni pewayangan.
            Dalang I Made Sidja dalam dunia wayang kulit Bali, tergolong dalang senior khususnya di daerah Gianyar. Potensinya sebagai seorang dalang sering dijadikan contoh atau tauladan oleh dalang-dalang muda di Bali. 
2.3  Profil dan  Proses Kreatif  Dalang Ida Bagus Putu Amithaba
            Dalang Ida Bagus Putu Amithaba lahir dari pasangan Ida Pedanda Lenganan Panida dan Ida Ayu Putu Mayun pada tanggal 13 Juli 1948 di Geria Lenganan Bajra Utara. Menyelesaikan studi SLTP pada tahun 1966. Ia melanjutkan SLTA pada tahun 1967 dan memutuskan berhenti sekolah saat kelas dua. Pada tahun 1972 tepatnya Uku Merakih, bulan Desember, Ida Bagus Putu Amithaba menikah dengan Ida Ayu Komang Marmawati (guru) berasal dari Tabanan. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai dua anak putri dan dua putra, antara lain Ida Ayu Purnamawati (alm.), Ida Bagus Gde Dewantara, S.E., Ida Ayu Sri Puspitasari, S.E., dan Ida Bagus Ketut Susila, S.E. Ketiga anak Ida Bagus Putu Amithaba bekerja sebagai pegawai bank.
            Ida Bagus Putu Amithaba belajar mendalang dari Bapa Rajeg dari Tunjuk, Tabanan tahun 1984. Dari Bape Rajeg, Ida Bagus Putu Amithaba banyak mempelajari tentang bahasa dan filsafat.  Karena prestasi Ida Bagus Putu Amithaba, maka Bape Rajeg memberi hadiah wayang Nang Semangat dan Nang Kimun. Sampai sekarang wayang hadiah gurunya itu disimpan dan terus dimainkan sebagai salah ciri khas pertunjukannya. Untuk memacu proses kreativitas dalam seni pewayangan agar digemari oleh masyarakat, ia tidak henti-hentinya belajar dengan berguru kepada dalang Buduk.
            Kekaguman Ida Bagus Putu Amithaba kepada dalang Buduk terutama tentang kelihaiannya memainkan wayang-wayang dengan luwes. Ida Bagus Putu Amithaba  juga berguru kepada Wayan Japa yang pandai dalam bidang filsafat dan agama.  Falsafah hidupnya dalam berkesenian, ialah “jika ingin menjadi seorang dalang yang hebat dan ingin “diacungi jempol” penonton, seseorang harus belajar pula tentang tabuh, di samping itu, dalang juga harus menguasai empat suara berbeda (1) dantia suara gigi, berguna untuk tokoh Merdah, (2) talawia, untuk tokoh Tualen, (3) dalem (suara krongkongan) untuk tokoh Delem, (4) sengau, berguna untuk tokoh Sangut.” Lewat proses belajar dari para dalang terkenal sebelumnya, dipadukan dengan pengalaman lapangan, dan bakat yang dimiliki, lahirlah lakon-lakon wayang, seperti: Warga Sari, Manik Bang Slukan, Tualen Ngambul, Dedari Buduh, Bima Swarga, Kunthi Sraya, Merdah Dadi Caru, Pengantenan Abimanyu, Drupadi Kapandung, Rameyana, Titi Bandha, Sri Tanjung, dan Sapta Mangedanin.
2.4 Profil dan  Proses Kreatif  Dalang I Wayan Surna
            Dalang I Wayan Surna lahir di Negara, tanggal 31 Desember 1960. Ayahnya bernama I Ketut Sandra (alm.) dan ibunya bernama Ni Ketut Suner. I Wayan Surna adalah anak pertama dari lima bersaudara. Empat saudaranya yang lain: Ni Made Srinten, Ni Komang Switi, I Ketut Santika Budi, dan I Putu Santosa. Surna, saudara-saudara, dan orang tuanya, tinggal bersama-sama sejak kecil hingga SMP di Negara.
            Pria kelahiran Negara ini, pada tahun 1992 menikah dengan Ni Nyoman Sudiani. Setelah menikah, I Wayan Surna bersama istrinya bertempat tinggal di Denpasar, tepatnya di Jalan Patih Nambi VI Nomor 3, Denpasar.
            Pendidikan I Wayan Surna dimulai dari sekolah dasar dari tahun 1970 dan lulus tahun 1973, kemudian ia melanjutkan sekolah ke SMP dari tahun 1973 dan lulus tahun 1977. Setelah tamat SMP, kemudian Surna melanjutkan SMKI di Gianyar dari tahun 1977 dan tamat 1980. I Wayan Surna segera melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Pedalangan di ASTI Denpasar dari tahun 1980 dan lulus tahun 1985. Selain pendidikan formal, I Wayan Surna juga belajar secara informal, antara lain: berguru kepada dalang I Made Sidja, dalang Bapa Narta (Sukawati), Bapa Lenyod (Negara), dan I Gusti Made Windia asal Petang (seniman topeng). Ia juga rajin mengikuti berbagai kursus dan penatran, antara lain:  penataran seni teater selama sepuluh hari di Jakarta, olah seni pedalangan, olah vokal pedalangan, dan eksperimentasi seni pedalangan. Falsafah hidupnya adalah “semua perjalanan hidupnya menjadi dalang diserahkan pada taksu wayang.”
            Lewat pendidikan formal, belajar pada dalang berpengalaman, belajar pada seniman topeng, beberapa kursus yang diikuti, I Wayan Surna cukup terkenal di Bali sebagai seniman wayang kulit. Karya-karyanya sampai saat ini “Cupu Manik, Bima Swarga, Kunti Sraya, Anoman Duta, Walu Nateng Dirah, Babad Pasek, dan Pancasono.    
2.5 Profil dan  Proses Kreatif  Dalang I Wayan Nardayana
            Dalang I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan dalang Cenk Blonk lahir dari pasangan I Ketut Tuwuh dan Ni Wayan Locer, pada tanggal 5 Juli 1966 di Banjar Batan Nyuh, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Sebagai anak pertama, dari dua saudara dibesarkan di lingkungan desa. Adik kandungnya bernama I Made Susantha, seorang pengusaha ukir gaya Bali. Kedua orang tuanya sehari-harinya bekerja sebagai petani.
            I Wayan Nardayana memasuki dunia pendidikan formal SD di Desa Batannyuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan tahun 1974 dan tamat 1980. Kemudian, setamatnya dari SD, ia melanjutkan ke SMP, masih sama di lingkungan Kecamatan Marga, mulai tahun 1981 dan tamat tahun 1983. Lalu ia melanjutkan SMA tahun 1983 dan tamat tahun 1986. Setamatnya dari SMA, Nardayana tidak langsung kuliah, ia menekuni dunia pedalangan dengan belajar sendiri dari dalang yang ada di sekitarnya. Setelah menjadi dalang terkenal, ia kemudian melanjutkan studi di perguruan tinggi ISI Denpasar mulai tahun 2004 dan menyelesaikan studinya tahun 2007 dengan mengambil jurusan pedalangan. Tahun 2007 ia melanjutkan kuliah pada pascasarjana (S-2) di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dan menyelesaikan kuliahnya tahun 2007 dengan indek prestasi cumlaude pada program studi Brahma Widya. Dengan demikian, gelar yang telah didapat oleh I Wayan Nardayana, yaitu S.Sn. dan M.Phil.H. (I Wayan Nardayana, S.Sn., M.Phil.H.). Pada saat wawancara dilakukan (5 November 2009), ia sedang  melanjutkan kuliah S-3 dan menjadi tenaga pengajar di IHDN.
            Pria kelahiran Bantanyuh Kelod ini menikah dengan Sagung Putri Puspadi yang juga seniman tari dari Jero Pangkung, Banjar Wani, Tabanan pada tahun 1995. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai dua orang putri, yang pertama bernama Ni Putu Ayu Bintang Sruthi dan kedua Ni Made Damar Sari Dewi.
             Keberhasilan I Wayan Nardayana sebagai dalang terkenal di Bali terlahir dari proses belajar otodidak, yakni mengintip dalang saat pertunjukan, mengapresiasi minat dan kesenangan penonton serta mengevaluasi kinerja (kreativitas) dalang sebelumnya. Ia tidak memiliki guru khusus dalam bidang pedalangan, tetapi ia belajar dengan cara: mendengarkan kaset-kaset dalang terkenal sebelumnya, sepeti dalang Made Jagra, I Dewa Made Rai Mesi, Ida Bagus Putu Amithaba, Ida Bagus Ngurah Buduk, dan dalang Madra. Dalam perjalanan kreatifnya sebagai dalang yang semakin terkenal saat ini, ia tidak pungkiri, bahwa dosen-dosen di perguruan tinggi ISI (Bapak I Wayan Dibya, Bapak I Wayan Catra, I Dewa Ketut Wicaksana, dan Bapak Ketut Kodi) dan dosen IHDN (Bapak Made Suatika, Nengah Dwija, I Wayan Sugita, dll.) turut memberi andil dalam seni yang digelutinya.
            Lewat lawakan-lawakan tokoh Nang Klenceng dan Neng Ceblong, akhirnya sekaa yang semula  bernama Gita Loka ‘nyanyian alam’ diubah menjadi Cenk Blonk. Dalang tertarik menggunakan kata itu sebagai label karena sebutan penonton di Jempayah, Desa Mengwitani, Badung, yang berdialog dengan sahabatnya mengatakan “ayo, mebalih wayang Cengblong” dan masyarakat lainnya lebih mengenal dalang Cengblong dari nama dalang sesungguhnya.  
            Prinsip yang ia pegang teguh dalam berkesenian, ialah (1) kesenian wayang merupakan pertunjukan dengan permainan hati ke hati; (2) pengalaman lapangan adalah guru yang utama, ia selalu merekam situasi zaman, oleh Budiasa (2006) disebut dalang perekam zaman; (3) memacu diri dengan bekerja keras sehingga tidak ketinggalan zaman dan tidak merasa puas dengan apa yang telah diperbuat (tidak ada kata puncak dalam berkesenian). Ia selalu memperbaharui dialog-dialog yang dapat menggugah emosi penonton; dan (4) menguasai bahasa (Bali, Kawi-Pedalangan, dan bahasa Indonesia). Baginya, seorang dalang harus mampu melakukan perbedaan suara di antara tokoh, yang ia disebut (jenis suara kunyit, jahe, isen, dan cekuh) identik dengan pernyataan Ida Bagus Putu Amithaba tentang suara yang harus dikuasai dalang, yaitu suara talawya, dantya, dalem, dan sengau). Bandingkan dengan suara dalang Jawa (manis, merdu, rena, perkasa, dan gora).
            Adapun visi dan misi yang diemban I Wayan Nardayana dalam pertunjukan wayang kulit dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(1)   Pertunjukan wayang kulit, tidak hanya menjadi kesenian babali (pengiring upacara), tetapi sebagai kesenian balih-balihan (tontonan), yang mampu menghibur dan menuntun masyarakat ke jalan yang benar serta berusaha merombak keadaan yang buruk di masyarakat.
(2)   Menjadikan kesenian wayang kulit memiliki tempat yang “istimewa” dalam masyarakat. Hal ini disebabkan fungsi wayang dan seni katanya dapat mendidik dan menyebarluaskan pengetahuan.
(3)   Mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
            Melihat pentingnya wayang di dalam kehidupan orang Bali, kesenian hendaknya dilandaskan pada logika, etika, dan estetika sehingga wayang kelak mampu menjadi identitas orang Bali serta mampu menjadi penjaga dan penyangga kebudayaan Bali khususnya dan kebudayan Nusantara umumnya.
            Kekaguman I Wayan Nardayana terhadap dalang Made Jagra, terutama dalam hal semangatnya memainkan wayang di hadapan kelir, telah menginspirasi daya kreatifnya, seperti ditunjukkan pada tata panggung, tata lampu, tabuh, dan penciptaan lakon-lakon (Gugurnya Prabu Jarasanda, Bima Swarga, Diah Ratna Takeshi, Asti Sweta, Rudra Murti, Tebu Sala, Kumbarakarna Lina, Titi Banda, Lata Mausadhi, dan Bimanyu Makrangkeng). Semua kerja kerasnya berbuah penghargaan-penghargaan dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun suasta.
2.6  Profil dan  Proses Kreatif  Dalang I Ketut Muada
            Dalang I Ketut Muada yang terkenal dengan nama dalang Joblar lahir di Banjar Jeroan, Desa Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, tanggal 6 April 1972. I Ketut Muada merupakan anak kedua dari pasangan suami istri I Nyoman Tarsa dan Ni Made Mura. Dia hanya memiliki satu saudara perempuan bernama Ni Made Rayuni.
             I Ketut Muada masuk SDN Nomor 1 Desa Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung  tahun 1979 dan tamat tahun 1985. Kemudian ia melanjutkan ke SMP, tepatnya STN (Sekolah Teknik Negeri) di Tangeb, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung pada tahun 1985 dan lulus tahun 1988. Setelah tamat dari Sekolah Teknik Negeri, Muada melanjutkan ke SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di Gianyar pada tahun 1988 dan  tamat tahun 1991. Pada saat ini, ia sedang kuliah (S-1) mengambil Jurusan Pedalangan di ISI Denpasar.
            Pada usia 24 tahun tepatnya tahun 1996, I Ketut Muada menikah dengan Ni Wayan Sukarini. Dari perkawinannya itu, mereka dianugrahi dua orang anak. Anak pertama bernama I Putu Wahyu Semara Diksa dan sekarang berusia tiga belas tahun, sedangkan anak kedua bernama I Made Indra Sanjaya berumur lima tahun.
Keberhasilan I Ketut Muada memainkan peran tokoh Punta atau Panasar pada Sekaa Bondres, bersama dengan dua temannya yang terkenal dengan sebutan tiga sekawan berdampak positif dalam karier kesenimanannya dan membuat I Ketut Muada semakin mengembangkan sayapnya di dunia seni Bali, khususnya dunia pedalangan. Pada tahun 1996 adalah pentas perdana Ketut Muada dalam pertunjukan wayang  kulit. Atas kerja keras dan diinfirasi oleh keberhasilan dalang I Wayan Nardayana, I Ketut Muada dalam waktu tidak terlalu lama juga menyandang predikat sebagai salah satu dalang terkenal di Bali. Ciri khas dalang ini, yakni lawakan-lawakannya lewat tokoh Joblar yang pragmatis dengan memadukan unsur lawakan penasar (punakawan) Topeng dan Arja. Ketenaran yang telah diraih itu, tidak terlepas dari bakat seni yang ia miliki, kerja keras dengan berguru pada dalang Pekak Jenjen dari Banjar Uma Kepuh, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dalang Ida Bagus Ngurah, yang terkenal sebagai dalang Buduk, dan dalang Rupik dari Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, yang terkenal dengan nama Wakul.
            Adapun visi dan misi dari dalang Joblar dalam berkesenian, adalah: (1) melestarikan seni dan budaya Bali; (2) pertunjukan wayang Bali perlu dilakukan inovasi sesuai dengan tuntutan zaman sehingga pertunjukan wayang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (3) menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.

3.  Transformasi Kearifan Lokal Melalui Ungkapan Lisan
    Pada pentas wayang kulit Bali, terutama yang berkaitan dengan struktur narasi, ungkapan lisan merupakan unsur yang koheren dalam keseluruhan dan keutuhan narasi. Tinjauan terhadap lakon-lakon wayang kulit Bali, yang dipentaskan oleh dalang cukup memberikan gambaran tentang hal dimaksud. Konfigurasi ungkapan lisan dalam lakon-lakon itu, tidak semata-mata sebagai kemampuan seni berbahasa beserta arti harfiah dan arti kiasnya, tetapi bagaimana konsepsi budaya Bali ditransformasikan sehingga menjadi wacana yang terus bergulir, oleh Semadi Astra (2004:115) disebutkan sebagai upaya merevitalisasi kearifan lokal.  
3.1 Jenis Ungkapan Tradisional Bali
            Keragaman sastra lisan bali tidak dapat dilepaskan dari hakikat manusia Bali sebagai homo ludens dan homo fabulans. Sebagai homo ludens, manusia Bali gemar bermain dan bersenda gurau. Sebagai homo fabulans, manusia Bali memang gemar bercerita (masatua) atau bersastra (nyastra). Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya jenis-jenis ungkapan tradisional, seperti: (1) sesonggan (pepatah), (2) sesenggakan (ibarat), (3) wewangsalan (tamsil), (4) peparikan (pantun), (5) sloka (bidal), (6) bladbadan (metafora), (7) sesawangan (perumpamaan), (8) pepindan (perumpamaan), (9) cecimpedan (teka-teki), (10) cecangkriman (syair teka-teki), (11) cecangkitan (sindiran), (12) raos ngempelin (lawakan), (13) sesimbing (sindiran), (14) sesemon (sindiran halus), dan (15) sipta (alamat) (Simpen, 1999:6—62. Winaya, 2007:14-35). Dari 15 jenis ungkapan itu, hanya 5 jenis yang diunggah dalam makalah ini, yaitu: (1) sesonggan, (2) sesenggakan, (3) wewangsalan, (4)  sloka, dan (5) raos ngempelin.

3.2 Transformasi Kearifan Lokal dalam Lakon Wayang  Bali
   Ungkapan-ungkapan lisan Bali dalam wayang yang dimanfaatkan oleh sang dalang, baik secara langsung maupun melalui dialog antartokoh-tokoh wayang dapat digenaralisasi menjadi ungkapan-ungkapan yang terkait dengan sistem sosial, budaya, dan religi masyarakat Bali. Sistem sosial dimaksud, antara lain konsep tri hita karana sebagai folosofi kehidupan yang bertumpu pada tiga aspek yang menjadi sebab terciptanya keselarasan atau keharmonisan. Konsep yang bersumber dari kitab ajaran Hindu, Bhagawad Gita (Wiana, 2004: 141) mengkonstruksikan tiga aspek keselarasan meliputi: keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (palemahan), dan keselarasan hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan) (Kaler, 1994: 86). Hidup yang selaras secara lahiriah dan batiniah (moksartam jagadhita ya ca iti dharma) inilah tujuan hidup masyarakat Bali yang menganut agama Hindu (Mantra, 1996:26).
Konsep dan penjabaran sebagaimana telah disinggung tadi tersirat pada beberapa kutipan, seperti  penyacah parwa (pendahuluan) di bawah ini.
(1)   AUM ri sekala inganika pramanya ya ta paripurna tan kacauhing déning pangila-ila. Batara nira Acintya manggalaning sembah inghulun ri pada sira hyang lamakaning tan kenéng sosot upadrawa ri pada batara. Aglis dadya pira pinten gati kunang  ikang kala nira mijil saksana mijil Sang Hyang Sunyantara kadi gelap sumrasah sumreping randu prajamanala, kumeter kang pretiwitala; apah, teja, bayu, akasa, lintang tranggana, surya, candra. Aglis umijil saksana. Mijil Sang Hyang Ringgit ya ta molah cara. Sawetaning ta tinuduh Sang Hyang Paramakawi nguni, wit wiwekan Sang Hyang Guru Reka. Ring sapratingkah ira sawetaning sampun jangkep ikang Astadasaparwa pangiketan ira Bhagawan Kresna Dwipayana kala nguni purwa. Aglis mijil  Sang Hyang Kawi Swara Murti tan sah ia mari kunang tatwa carita.” (LGP: 01)
Ya Tuhan (Sang Hyang Widhi), dalam kehidupan di dunia nyata ini, hamba berketetapan hati memohon kesempurnaan dan keterhindaran dari ketergelinciran. Ke hadapan Batara Acintya pujian ini ditujukan serta permohonan berkah  agar terhindar dari kutuk dan mala petaka. Segera, adalah pada masa dahulu, tak terhitung sudah berapa lama masa itu berlalu, hadir Sang Hyang Sunyantara, bagaikan kegelapan yang masuk dan menyelimuti dunia, bumi pun bergoyang, lalu segera muncul zat-zat: apah (air), teja (api), bayu (angin), akasa (angkasa), bintang, matahari, dan bulan. Kemudian hadir Sang Hyang Ringgit (wayang) yang bergerak-gerak ke sana kemari. Kemudian, adalah perintah dari Sang Hyang Paramakawi agar Sang Hyang Guru Reka menjadikan hal tersebut sebagai gagasan awal untuk berkarya. Setelah ia berkarya lalu lengkaplah cerita Astadasaparwa yang disatukan oleh Bhagawan Kresna Dwipayana. Demikian kejadiannya dahulu kala. Lalu hadirlah Sang Hyang Kawi Swara Murti yang membuat cerita-cerita carangan.’
(2)   “Raris tepengan sekadi mangkin tan lali titiang ngaturang pangastungkara, pamekas ring suryan titiang, ring gustin titiang, kalih semeton jabané sami. ...majanten sapanangkil titiang sekadi mangkin tulya kadi kunang-kunang anarung sasi, kadi sangkur mabet jamprah, majanten Ratu, tan sida titiang pacang ngelédangin, ngawi purna pakayun ida dane sareng sami. Yan tiang ngemanahang, tulya kadi seret mapah ugi mapuh susuk geseng, tulya kadi basé mapamor antuk pici-pici puun, majanten tan pacang sida ngawé tekep ri sajeroning waja. Kéwanten druénang bantes mamargi antuk titiang ngiring kayun ida dané deriki. (LGP: 06)
Pada kesempatan yang baik ini saya tidak lupa menyampaikan rasa hormat, terutama ke hadapan golongan brahmana, golongan kesatria, temasuk juga saudara sekalian dari golongan rakyat biasa. ...sudah pasti sepenghadapan saya sekarang ini ibarat kunang-kunang hendak menyamai bulan, ibarat ayam sangkur berperilaku bak ayam jamprah, sudah tentu Tuan, saya tidak akan mampu menyenangi, memuaskan hati dan perasaan para handai taulan sekalian. Kalau dalam pikiran saya, ibarat seret mapah ugi mapuh susuk geseng, maksudnya ibarat menginang daun sirih berkapur dari sipit kecil yang telah gosong, sudah tentu tidak mampu seperti membuat tutup pada wajan. Jadikanlah milik bersama, bagi saya tontonan ini asal bisa terselenggara guna memenuhi kehendak para handai taulan di sini”.
 Kutipan (1) memperlihatkan transformasi kearifan lokal Bali, yakni hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan) dengan segala manifestasi-Nya (Sang Hyang Sunyantara, Sang Hyang Ringgit, dan Sang Hyang Paramakawi). Pada kutipan (2) kalimat-kalimat yang dicetak tebal di atas cukup jelas menggambarkan bagaimana tradisi lisan, dalam hal ini pertunjukan wayang kulit Bali, mentransformasi konsepsi budaya Bali khususnya tentang interaksi sosial ke bentuk ungkapan-ungkapan tradisional atau peribahasa (proverb) dalam sebuah kerangka dialogis antartokoh wayang. Ada hal yang bersifat elementer yang berhasil ditangkap kemudian dimanfaatkan oleh sang dalang terkait dengan adegan penangkilan (pertemuan).
Hakikat kemanusian sebagai makhluk yang tidak sempurna, selalu ada kekurangan dan atau kelemahan tetap terbawa, luput dari pengecualian akan status sosial religius yang dimiliki. Sarana verbal yang terbalut dalam ungkapan-ungkapan tradisional yang merefleksikan hakikat kemanusiaan serta tak luput dari kelemahan dan kekurangan di satu pihak, sementara di pihak lain, berhadapan dengan tuntutan dan tanggung jawab sehubungan dengan profesi yang disandang, hal itu tampak pada sesonggan (pepatah): ”kunang-kunang anarung sasi;  sangkur mabet jamprah; basé mapamor antuk pici-pici puun; ngawe tekep ri sajeroning waja. ’kunang-kunang menyamai bulan, ibarat ayam sangkur berperilaku bak ayam jamprah, ibarat menginang daun sirih berkapur dari siput kecil yang telah gosong, sudah tentu tidak mampu seperti membuat tutup pada wajan.’
Perumpamaan tersebut merujuk kepada binatang, benda-benda alam, alat-alat rumah tangga, dan tumbuh-tumbuhan dengan cara mengkontraskan antara satu dengan yang lain seperti: sinar pada kunang-kunang dengan sinar bulan, ayam yang bulu ekornya melengkung ke bawah (sangkur) dengan ayam yang bulu ekornya melengkung ke atas (jamprah). Dua ungkapan tersebut sebagai kiasan akan sosok kemanusiaan yang pada dasarnya memiliki kekurangan sehingga mustahil bisa memuaskan atau menyenangkan manusia lain, baik secara individu maupun secara kelompok.
Ungkapan selanjutnya mengiaskan kualifikasi rasa kepuasan atau kenikmatan, berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Ada orang yang merasakan nikmat saat menginang dengan daun sirih berpamor dari siput sawah kecil yang gosong akan tetapi orang lain tidak merasakan kenikmatan. Ungkapan terakhir, seakan mempertegas balutan arti dari tiga ungkapan sebelumnya yang mengiaskan, antara kenyataan dan harapan. Wajan adalah benda yang dekat dengan kehidupan sehari-hari orang Bali, yakni sebagai alat atau wadah untuk menggoreng bahan-bahan masakan (Bali: pengoréngan). Pengoréngan (wajan) memang tidak bertutup, akan tetapi jika ditutup saat menggoreng bahan masakan tentu memakai tutup lain seperti tutup periuk sehingga tidak akan tepat. Kalimat terakhir pada kutipan (LGP: 06) di atas menyatakan ”kéwanten druénang” maksudnya kelebihan dan kekurangan yang ada agar dijadikan milik bersama cukup jelas menggambarkan sikap budaya orang Bali yang dilandasi oleh konsep segilik-seguluk, yakni asas kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Itulah maksud dari pernyataan ”bantes mamargi antuk titiang ngiring kayun ida dane deriki”. ‘Jadikanlah milik bersama, bagi saya tontonan ini asal bisa terselenggara guna memenuhi kehendak para handai taulan di sini’.
Selain itu, dalang Ida Bagus Putu Amithaba menekankan hubungan manusia dengan sesama (pawongan), yakni penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga dengan memberikan perhatian pada anak wanita melalui pendikan nonformal maupun pendidikan formal agar ia bisa menjadi luh luih (wanita mulia). Hal itu terlihat dalam ungkapan sloka (bidal) LSM seperti di bawah ini:
        78. Merdah    :  ”...Aduh nanang dewa ratu, aduh nanang yen nu nanang kaiketan dening kaindrian teken anak luh, pilihin, kebitan masih isin lontar sasanane nang! Yen ngalih anak luh kenken patut alih. Yen ada anak luh coda di gidatne to kelidin. To nanang to prabu kasunan adane.
        79. Tualen     :  Kenken kojarne to?
        80. Merdah    :  Liu ngaba munyi kema mai to.
        82. Merdah    :  Yen ada anak luh code di pahane, lembu sisiron adane ento.
        83. Tualen     :  Kenken kojarne to?
        84. Merdah    :  Mes pungkatne ento. Ajak ngebah biu bisa ia malunan pungkat. Yen maan ngalih anak luh apang luung luih utama ya, yen kulitne putih bulune pang kuning bookne pang sada barak dituktukne gigis to jaja kuskus misi unti adane to
       
        78. Merdah    :  ...Aduh Bapa, jika Bapa masih diselimuti nafsu asmara terhadap wanita, dipilihlah, buka juga kitab Sasananya, Bapa. Jika mencari wanita, yang bagaimana patut dicari. Jika ada wanita bertahi lalat pada dahinya hindarilah. Itu Bapa, mengusung kepala namanya. 
        79. Tualen     :  Mengapa dikatakan demikian?
        80. Merdah    :  Banyak berkata-kata ke sana ke mari yang demikian itu.
        82. Merdah    :  Jika ada wanita bertahi lalat pada pahanya, kerbau yang jalannya tertatih-tatih namanya itu.
        83. Tualen     :  Mengapa dikatakan demikian?
        84. Merdah    :  Gampang rebahnya itu. Diajak menebang pohon pisang bisa dia yang lebih dulu rebah. Jika dapat carilah wanita yang baik dan mulia, jika kulitnya putih bulu badannya agak kuning dan pada ujung rambutnya sedikit  agak kemerahan, itu jajan kukus berisi unti namanya.’ 
              Kalimat yang dicetak tebal di atas termasuk jenis sloka. Arti kias dari sloka-sloka itu sudah dijelaskan secara langsung pula dalam dialog tersebut. Hal yang bersifat konseptual yang bisa dipetik dari sloka di atas adalah setiap tindakan, pilihan, mesti mengacu pada sumber yang benar seperti kitab-kitab ajaran kesulaan (sesana) sehingga muncul pikiran yang benar pula. Dalam laku memilih wanita untuk dijadikan pasangan hidup, disarankan agar tidak menjatuhkan pilihan pada wanita yang suka berbicara ke sana kemari (prabhu kasunan) atau yang tenaganya lemah (lembu sisiron), tetapi jika dapat agar memilih wanita yang cantik secara fisik dan berbudi luhur (jaja kukus misi unti). Jaja kukus adalah jajan dari ketan pulut yang dikukus sampai matang. Misi unti artinya di atas jajan itu berisi kepala parut yang telah bercampur dengan sirup gula merah. Jadi maksud dari ungkapan tersebut adalah wanita yang wujud fisiknya bagus, sehat, dan berbudi luhur.
Esensi pemimpin dan rakyat dalam konsepsi budaya Bali merupakan dualisme, istilah Bali disebut rwa bhineda (binary oposisition),  maksudnya dua hal berbeda, yang satu tidak bisa meniadakan yang lain.  Memiliki asas timbal balik (simbiose mutualistis). Dua hal berbeda tidak untuk dipertentangkan tetapi diharmoniskan, disatukan, sehingga pada keharmonisan itu terkandung arti kesatuan dalam perbedaan, perbedaan dalam kesatuan (Dharmayudha dkk, 1991: 20). Dua hal berbeda yang bersinergi sebagai penyebab terciptanya kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman (Namayudha, 1988/1989: 6). Contoh lain terkait dengan konsep rwa bhineda dalam kehidupan masyarakat Bali antara lain: sekala (alam nyata) dan niskala (alam tidak nyata), bhuana agung (macrocosmos) dan bhuana alit (microcosmos); orientasi arah, yaitu kaja (utara) dan kelod (selatan), segara (laut) dan giri (gunung), hulu (hulu) dan teben (hilir). Pemimpin identik dengan atas atau gusti, sedangkan rakyat identik dengan bawah atau kaula.
Konsepsi rwa bhinedha sebagaimana dimaksud tersirat pada beberapa kutipan (LGP)  di bawah ini.
34. Tualen    :  Kal ida rawosanga tedung jagat.
35. Merdah   :  Tedung?
36. Tualen    :  Pajeng.
37. Merdah   :  Jagat?
38. Tualen    :  Gumi.
39. Merdah   :  Pajeng gumi.
40. Tualen    :  Mula misadia kal ngetisin, kal ngembonin i rakyat sane kepanesan
41. Merdah   :  To tedung jagat?
42. Tualen    :  To tedung jagat. Yen ado pemimpin, I Ratu, setata manes-manesin rakyat.
43. Merdah   :  Kenken?
44. Tualen    :  To bina angganing kadi i kidang mangob ring soring taru geseng kineng amangguhaken sukan ikang mangun.
45. Merdah   :  Apa artine?
46. Tualen    :  Pang da cara kidang ngetis di bongkol punyan kayune gede. Gede ja suba punyan kayune kewala lacur kayune sing medon. Dija ya kal i kidang maan nepukin embon”.                                
34. Tualen    :  ‘Maka dari itu ia (raja) dikatakan sebagai tedung jagat.
35. Merdah   :  Tedung?
36. Tualen    :  Payung.
37. Merdah   :  Jagat?
38. Tualen    :  Dunia.
39. Merdah   :  Payung dunia.
40. Tualen    :  Memang bersiap sedia akan menyejukkan, akan meneduhkan si rakyat yang kepanasan.
41. Merdah   :  Itu payung dunia?
42. Tualen    :  Itu payung dunia. Jika ada pemimpin, sang raja, selalu membuat rakyat hidup dalam kondisi kepanasan.
43. Merdah   :  Bagaimana?
44. Tualen    :  Itu bagaikan hewan kijang berteduh di bawah pohon kayu besar tetapi sudah tak berdaun, mustahil ia memperoleh kesejukan.
45. Merdah   :  Apa artinnya?
46. Tualen    :  Supaya tidak sepeti hewan kijang yang berteduh di bawah pohon kayu besar. Memang besar pohon kayu itu akan tetapi pohon itu tidak berdaun. Sehingga menjadi hal yang mustahil bagi si kijang memperoleh kesejukan.’
Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai yang mencerminkan kearifan lokal Bali saat ditransformasi melalui ungkapan lisan dan dikemas dalam bentuk dialog berdimensi lain. Ciri kemonotonannya berubah menjadi dinamis. Hal tersebut mengemuka lewat esensi dialog, yakni ada pertanyaan ada juga jawabannya, ada ungkapan yang bernuansa simbolis di satu pihak sedangkan di pihak yang lain ada penjelasan yang berkenaan dengan ungkapan simbolis tersebut.
Konsepsi pemimpinpayung dunia”, memiliki arti ’mengayomi dan menyejukkan suasana’. Jika hal yang terjadi adalah sebaliknya dalam arti pemimpin tidak sebagai pengayom dan penyejuk suasana, perbendaharaan tradisi lisan yang mengakumulasikan gagasan kritis terhadap kepemimpinan, mengemuka lewat ungkapan lisan Tualen kepada Merdah, yaitu kadi i kidang mangob ring soring taru geseng kineng amangguhaken sukan ikang mangun. Teknik penyampaian ungkapan (sesenggakan) seperti itu, di samping menunjukkan penguasaan sang dalang dalam hal perbendaharaan bahasa Jawa Kuna/Kawi dan bahasa Bali, juga sebagai komponen penyangga kebudayaan Bali untuk membantu pemahaman masyarakat (penonton) akan maksud yang terkandung di balik ungkapan tersebut.
Lebih lanjut, masih tentang ungkapan yang terkait dengan kepemimpinan disebutkan sebagai berikut:
52. Tualen          :  Tetelu gelaran nake dadi pemimpin.
53. Merdah         :  Apa to?
54. Tualen          :  Ilmu amal iman.
55. Merdah         :  Pih ilmu?
56. Tualen          :  Pang ngelah benye ilmu kepemimpinan.
183. Merdah       :  Apa to?
184.Tualen         :  Astobrata, catur nayasandi,catur pariksa, panca stiti pramiteng prabu”.
                                         
52. Tualen          :  ‘Ada tiga modal yang harus dimiliki oleh orang yang menjadi pemimpin.
53. Merdah         :  Apa itu?
54. Tualen          :  Ilmu amal iman.
55. Merdah         :  Aduh ilmu?
56. Tualen          :  Kita harus punya ilmu kepemimpinan.
183. Merdah       :  Apa itu?
184.Tualen         :  Astobrata, catur nayasandhi, catur pariksa, panca stiti pramiteng prabu.’
Ilmu kepemimpinan yang dimaksudkan oleh sang dalang melalui  ucapan tokoh Tualen, adalah ilmu kepemimpinan menurut ajaran agama Hindu yang tertuang dalam naskah-naskah sastra Bali terutama sastra berbahasa Jawa Kuna, seperti Niti Sasana, Dharma Sasana, Kakawin Ramayana, Kakawin Gajah Mada, dan Slokantara. Aspek-aspek kepemimpinan Hindu, seperti telah disinggung dalam kutipan di atas, berkedudukan sebagai aturan atau pedoman untuk membimbing pemimpin dan rakyat yang dipimpin agar tercapai kesejahteraan lahir batin (moksa dan jagadita).
Kritik sosial yang terlihat dalam LMK, yaitu kaitannya dengan proses pembelajaran (etika dan moral) kepada gererasi muda sebagai generasi penerus nilai-nilai budaya bangsa. Sang dalang mentransformasi konsepsi budaya Bali melalui ungkapan-ungkapan lisan dalam sebuah kerangka dialogis tokoh wayang dalam perannya sebagai hamba (rakyat) seperti terekam dalam kutipan berikut.
  “…, titiang taler panjak batara dewagung jagi napi wastane ngayah-ngayah ka puri. …. Cara jani pang sing pelih baan milih nak muani, dadi nak luh ada buka sesonggane ne payas anak luh-luh anggon conto. “Marok sepan mapotong poni masepatu tinjik nandan sepeda”, kenken artine niki? “Marok sepan mapotong poni” ‘masepan-sepan ngalih anak muani’. “Masepatu tinjik nandan sepeda” ‘ane lakar tidik nyanan sing ada’. Adah keweh dewa ratu.” (LMK: 109)
 ‘…, saya juga rakyat paduka raja akan ikut bergotong-royong ke istana.  …. Zaman seperti sekarang supaya tidak salah  memilih lelaki, menjadi seorang wanita ini ibarat sesonggan menggunakan hiasan wanita-wanita sebagai contoh. “Memakai rok mini potongan rambut model poni bersepatu hak tinggi menuntun sepeda”, bagaimana artinya ini? “Marok sepan mapotong poni” ‘terburu-buru mencari lelaki’. “Masepatu tinjik nandan sepeda” ‘yang akan makan nanti tidak ada’. Wah sungguh-sungguh susah.’
Pepatah (sesonggan) dalam kutipan tersebut, memperlihatkan kritik sosial (sindiran) yang mengandung konsepsi ajaran moralitas yang sarat akan nasihat.  Secara eksplisit, ajaran itu menuntut agar seorang wanita (gadis) bersikap waspada, sebelum bisa mandiri untuk masa depan, tidak perlu terburu-buru mencari lelaki karena pada prinsipnya bahwa hidup ini adalah berat. Oleh karena itu, seorang gadis harus ingat kepada putra sesana, yaitu bagaimana kewajiban seorang anak terhadap orang tua.
4. Fungsi dan Makna Transformasi
            Setiap teks direka atau dilahirkan guna memenuhi suatu fungsi. Fungsi ini akan memenuhi strukturnya. Struktur dan fungsi adalah dwitunggal. Salah satu ciri yang tidak berubah sejak dahulu sampai sekarang, ialah bahwa wayang memiliki sifat multidimensional. Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup yang berupa nilai-nilai budaya (Wibhisono, 1991:58). Oleh karena itu, dalang menciptakan sebuah lakon memiliki motivasi, bukan  hanya sekadar untuk menarik minat penonton, melainkan ada dorongan untuk mensosialisasikan pelajaran moral. Motivasi itu dapat pula merupakan dorongan hati untuk menyindir masyarakat pada umumnya dan golongan tertentu khususnya, mengenai kehidupan dan tabiatnya.
            Fungsi sastra dalam masyarakat bisa bergeser dari zaman ke zaman dan berbeda-beda bagi bermacam-macam bangsa; dalam kenyataannya, sastra dalam masyarakat dipergunakan dalam berbagai cara: ada yang dipergunakan menghibur, mendidik, menyampaikan nilai-nilai, dan kritik sosial. Berdasarkan sudut pandang di atas, karya sastra lakon wayang  Bali, yang di dalamnya terkandung unsur ungkapan-ungkapan juga mempunyai fungsi dan makna dalam masyarakat. Fungsinya tidak semata sebagai penggugah nafsu pada pembacanya, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai keutuhan cerita, hiburan, sebagai kritik sosial, media informasi, dan sebagai konstribusi kelangsungan dan stabilitas kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
              Dalam kaitan transformasi ungkapan berfungsi sebagai sarana hiburan, terlihat dalam ungkapan yang tergolong raos ngempelin (ungkapan pelawak), yakni pada kalimat “ pang do ci seduk di sekolahan, nasi dingin bang nanang cai, nanang ngalah meli cap cai ka warung.” Ungkapan itu mengandung banyolan, yakni anaknya diberi nasi dingin, sedangkan ayahnya mencari cap cai ke warung. Ungkapan ini sangat ironis, dengan pernyataan “ngalah,” namun ayahnya mendapatkan makanan yang lebih baik. Ditinjau dari pandangan “seni sebagai hiburan” maka makna yang terkandung di dalam ungkapan tersebut, adalah karya seni dimaksudkan untuk menghibur dan di dalam fungsi karya sastra sebagai penghibur terselip nasihat, yaitu orang tua hendaknya dapat memberi pendidikan yang baik kepada generasi muda serta pembaca diajak semakin cerdas dalam melihat situasi.
            Berkenaan dengan tugas dalang, mengutip salah satu pandangan Ki Siswoharsojo, yakni sebagai penyebarluasan bermacam-macam pengetahuan untuk masyarakat luas (Damono, 1993:154) tidak berlebihan transformasi kearifan lokal memperlihatkan gejala itu. Banyak dialog dan kata yang pada intinya mengandung makna untuk mendidik, memberitahu, dan menyarankan kepada masyarakat untuk lebih giat berkarya, belajar, dan berbuat baik terhadap sesama agar kehidupan yang sedang dilakoni dan yang akan datang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini terlihat dalam  kutipan berikut.
Gur to patuh teken Ida Sang Hyang Widhi, awinan meken nabuh gonge to katabuh pang telu: gur pang telu: bhur, bwah, swah keto ya. Jagat i ragane kakuasain olih Sang Hyang Widhi, awinan i raga lantas patut parama satia ring Sang Hyang Widhi.(LSM: 51)
‘(Suara) Gur itu (disimboliskan) dengan  Ida Sang Hyang Widhi, itulah sebabnya ketika akan menabuh gong itu, ditabuhlah gong itu terlebih dahulu sebanyak tiga kali: bhur ’bumi’ bwah ’langit’, swah ’sorga’ begitulah makna bunyinya. Jagat kita dikuasai oleh Sang Hyang Widhi, itulah sebabnya kita harus setia pada Sang Hyang Widhi.’
            Kutipan  di atas menyampaikan pengetahuan tentang keberadaan sifat-sifat Tuhan (gaib, tak berwujud, dan ada di mana-mana menempati ruang dan waktu). Keberadaan beliau disimboliskan dengan suara gong “bhur” yang menempati ruang bawah ‘bumi’, “bwah” menempti ruang tengah ‘langit’, dan “swah” menempati ruang atas ‘sorga’. Filosofi itu mengandung makna, bahwa Ida Sang Hyang Widhi menempati segala ruang, dari terendah sampai tertinggi.
            Melihat cukup banyak transformasi ungkapan-ungkapan tradisional yang disampaikan dalang dalam lakon-lakon wayang Bali, misalnya kearifan lokal yang mencerminkan pranata sosial, solidaritas (konsep manyama braya), dan kesetiaan (satya), tidak dapat dipungkiri transformasi itu berfungsi sebagai kebertahanan Budaya. Makna dibalik transformasi itu, adalah dalam hidup ini harus ada filtrasi terhadap pengaruh yang membahayakan diri sendiri, baik secara individu maupun kelompok. Model yang dipakai untuk membendung pengaruh kebudayaan yang dianggap merusak budaya lokal, ialah mendidik orang  sehingga memiliki pengetahuan yang luas tentang budaya, pendalaman tentang ajaran agama, dan menguatkan konsep-konsep yang telah digariskan dalam aturan adat.
Sesuai dengan hakikatnya, tiap-tiap karya seni merepresentasikan dimensi-dimensi kebudayaan tertentu. Karya sastra, melalui medium bahasa metaforis konotatifnya, berfungsi untuk menampilkan kembali berbagai peristiwa kehidupan manusia. Tujuaannya, agar manusia dapat mengidentifikasikan dirinya dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang lebih bermakna (Ratna, 2005: 424).
             Dalang dengan pengalaman, pengetahuan, dan kemampuannya mengolah cerita yang disesuaikan dengan situasi zaman, dapat melaksanakan  tugasnya dengan baik, yaitu melakukan kritikan-kritikan, baik terhadap individu, maupun masyarakat pada umumnya. Kepiawaian dalang menyampaikan kritik itu cukup tinggi, sehingga penonton tidak merasa dirinya menjadi bahan gunjingan. Dalam menyampaikan kritikan itu, dalang menyuarakan lewat tuturan majas bahasa dan ungkapan-ungkapan sehingga hubungan dengan mitra tutur (penonton) dapat berlangsung dengan baik. Adapun kritik sosial yang disampaikan dalang dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(1) 1242. Nang Klenceng        : “Kadangkala hukum cara pencar.
1243. Nang Ceblong         : Ngujang keto?
1244. Nang Klenceng       : Nyalean, testes teka juk ken pencare, juk ken sau. Be ulam agung teka uug pencare..
1245.  Nang Ceblong        : Oh keto?
1246. Nang Klenceng       : Keto.
1247. Nang Ceblong         : Kal ci bani ngomong keto?
1248. Nang Klenceng    : Kenyataan, kenken ne! ngomonglah yang riil. Sayo tidak takut membilang hitam kalau betul-betul hitam, dan jangan takut membilang putih kalau betul-betul putih. Jangan takut!”
1242. Nang Klenceng       : ‘Kadangkala hukum seperti jaring ikan.
1243. Nang Ceblong         : Mengapa demikian?
 1244. Nang Klenceng        : Ikan nyalean, udang kecil tertangkap oleh jarring.  Jika ikan paus datang rusaklah jaring itu..
1245.  Nang Ceblong        : Oh begitu?
1246. Nang Klenceng       : ya gitu..
1247. Nang Ceblong         : Kok kamu berani bicara demikian?
1248. Nang Klenceng       : Kenyataan. Babagaimana ini?  Berbicaralah  yang riil. Saya tidak takut mengatakan hitam kalau betul-betul hitam, dan jangan takut mengatakan  putih kalau betul-betul putih. Jangan takut!’
(2)  Aluh. Ngalih anak jujur keweh. Liu nak dueg kewala sing jujur (LGP: 84)
‘Mudah. Mencari orang jujur sangat sulit. Banyak orang pintar tetapi tidak jujur.’
            Kritik sosial yang terlihat dalam kutipan (1) merupakan fakta sosial dan merupakan “titik nadir” dari kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum. Dalam konteks itu, hukum berlaku hanya untuk golongan bawah. Jika orang-orang memiliki uang kena masalah maka hukum tinggal hukum, orang itu akan dapat bebas. Kutipan (2) mempertajam kondisi itu, yakni disampaikan dengan ungkapan (raos ngempelin)liu nak dueg kewala sing jujur”. Kritik yang disampaikan oleh dalang memiliki makna di negara ini sangat sulit mencari keadilan. Keadilan ada hanya bagi orang-orang yang memiliki uang. Di sisi lain, orang pintar di negara ini banyak, namun kepintaran itu hanya untuk membodohi orang, sedangkan orang jujur sangat sulit dicari.
5.  Simpulan
      Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa seni pewayangan hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu terlihat dalam pertunjukan, yaitu dalang merombak unsur-unsur pertunjukan: tata panggung, tata lampu, gaya pentas, dan unsur-unsur pokok matriks kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks. Dalang melakukan konversi terhadap pakem wayang, yaitu dengan mengubah unsur-unsur matriks kalimat pada hipogram sebelumnya sehingga terlihat adanya “pembaharuan” (melalui proses evolusi) sehingga masyarakat semakin mudah memahami, menarik, dan merasa bagian dari pertunjukan.
            Transformasi kearifan lokal yang ditemukan lewat ungkapan-ungkapan tradisi, adalah kearifan lokal yang dilandasi konsep teologi Hindu, yaitu tri hita karana, tatwam asi, rwa bhineda, dan desa kala patra. Kearifan lokal itu dikemas dalam ungkapan-ungkapan, seperti wewangsalan, sesenggakan, sesonggan, raos ngempelin, dan sloka, yang dalam penyampaiannya lewat tokoh-tokoh punakawan. Hal itu dapat dimengerti, karena bahasa yang digunakan dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan tersebut bahasa yang jenaka, ringan, dan dipakai sehari-hari dalam masyarakat Bali. Dengan demikian, kearifan lokal melalui ungkapan lisan dalam lakon wayang Bali sebagai karya yang mengalami transformasi lintasan bahasa, lintasan zaman, dan lintas daerah.
            Fungsi transformasi sebagai sarana hiburan, penyebarluasan ilmu pengetahuan, dan kritik sosial, yang mengemuka dalam tuturan  akibat banyaknya perilaku-perilaku menyimpang, ketimpangan sosial, dan keserakahan individu atau pun kelompok berkembang dalam masyarakat. Makna dari transformasi itu, ialah hendaknya sebagai manusia beradab mampu menjaga norma-norma agama, etika, dan dapat membebaskan diri dari ‘belenggu’ keserakahan.
 

             
========================                            ========================


DAFTAR PUSTAKA

Astra, I Gde Semadi. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya Memperkokoh Jati Diri Bangsa” Dalam Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Budiasa, I Made. 2006. “Analisis Bentuk, Warna Lokal Bali, dan Fungsi Lakon  Katundung Ngada Karya Dalang I Wayan Nardayana.” Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Graffiti.
Dharmayudha, I Made Suasthawa dkk. 1991. Filsafat Adat Bali. Denpasar: Upada Sastra
Kaler, I Gusti Ketut. 1994. Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali 1 dan 2. Denpasar: CV Kayumas Agung
Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Namayudha, Ida Bagus. 1988/1989. “Tata Cara Membangun Perumahan”. Dalam “Keputusan Seminar XV Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu”. Denpasar: Proyek Pembinaan Kepada Lembaga Pendidikan Agama Hindu dan Parisada Hindu Dharma.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simpen A.B., I Wayan. 1999. Basita Paribasa. Denpasar: PT Upada Sastra.
Soebadio, Haryati. 1986: “Kepribadian Bangsa”. Dalam Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Ayatrohadi (editor). Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta Gramedia.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia  Pusat Pembinaan dan Pengembangan        Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali?. Surabaya: Paramita.
Wibhisono, Singgih. 1991. “Wayang sebagai Sarana Komunikasi.” Dalam Eddy Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (Ed). Seni dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.
Winaya, Pande Ketut Kaca. 2007. Paribasa Bali: Apang Cening Nawang. Denpasar: Yayasan Sanggar Seni Dananjaya.
Wisnu, I Wayan Gde. 2008. “Kedudukan dan Fungsi Ungkapan Tradisional Bali Pada Masyarakat Bali: Kajian Perspektif Budaya”. Dalam Karaket Antuk Tresna: sebuah Persembahan Kepada Guru. Editor I Made Suastika. Denpasar: Kajian Budaya.
Yetti, Erli. 2001. “Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Lampung: Upaya Membangun Karakter Bangsa”. Dalam (Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) “Membangun Karakter Bangsa dalam Fluralisme”. Mataram: Kantor Bahasa Provinsi NTB.