Minggu, 24 Juli 2011

DALANG I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF



DALANG  I WAYAN NARDAYANA DALAM PROSES KREATIF

Tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak
orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri,
membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang
yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang
yang menghilang (dari) kegelapan malam dari
pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)
 (Muchtar Lubis, 1993)

1. Profil Dalang I Wayan Nardayana
Tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa  I Wayan Nardayana adalah salah satu dalang yang produktif berkarya dan memiliki integritas dalam jagat seni pertunjukan wayang kulit  Bali. Dalam jagat budaya wayang, mengutip pendapat Sydow, dalang jenis inilah yang disebut active bearers of traditions ‘orang yang memainkan boneka (wayang), menceritakan sebuah cerita, dan menyanyikan suatu nyanyian dalam pertunjukan’ atau ‘orang yang aktif memikul warisan budaya’ orang yang penting sebab di samping sebagai ‘penjaga gawang’ kebudayaan, juga sebagai pengembangan kebudayaan (Hutomo,1993:23).
Beranjak dari alasan di atas, aspirasi dan kreativitas I Wayan Nardayana dideskripsikan guna mengetahui latar belakang kehidupan, pendidikan, proses kreatif dalam pertunjukan,  dan visi dan misi berkesnian. Dimulai dari biografi-biografi yang telah ada, tulisan ini mencoba mendeskripsikan data-data dalang yang terkumpul beserta karya-karya yang telah dihasilkannya.
            Dalang  I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan dalang Cenk Blonk lahir dari pasangan I Ketut Tuwuh dan Ibu Ni Made Locer, pada tanggal 5 Juli 1966 di banjar Batannyuh Kelod, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten  Tabanan, Bali. Sebagai anak pertama, dari dua saudara dibesarkan di lingkungan desa. Adik kandungnya bernama I Made Susantha, seorang pengusaha ukir gaya Bali. Bapak dan Ibu pekerjaan sehari-harinya sebagai  petani.
            I Wayan Nardayana memasuki dunia pendidikan formal  SD tahun 1974 dan menamatkan pendidikan itu tahun 1980 dilanjutkan ke sekolah SMP mulai tahun 1981  dan tamat  tahun 1983, SMA mulai tahun 1983 berakhir tahun 1986. Setelah menjadi dalang terkenal, ia kemudian melanjutkan studi di perguruan tinggi ISI Denpasar mulai tahun 2004 menyelesaikan studi tahun 2007 dengan  mengambil jurusan pedalangan. Pada tahun 2007 ia melanjutkan kuliahnya pada pascasarjana (S2) di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dan menyelesaikan kuliah pada tahun 2007 dengan prestasi cumlaude pada Prodi Brahma Widya. Dengan demikian,  gelar yang telah didapat oleh I Wayan Nardayana, yakni S.Sn dan M.Phil. H (I Wayan Nardayana, S.Sn. M.Phil. H.). Pada saat wawancara dilakukan, ia kini diangkat menjadi dosen luar biasa di (IHDN)  dan bercita-cita  melanjutkan kuliah (S3).
Pria kelahiran Batannyuh Kelod ini menikah dengan Sagung Putri Puspadi (seniman tari) dari Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan pada tahun 1995. Dari pernikahan itu, lahir dua orang putri, yang pertama Ni Putu Ayu Bintang Sruthi, dan yang kedua bernama Ni Made Ayu Damar Sari Dewi. Melihat kondisi suami (I Wayan Nardayana) sangat sibuk, istri memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga—mengasuh, membimbing anak,  dan sebagai tukang banten di rumah.
Mertua I Wayan Nardayana bernama Anak Agung Made Raka dan Ni Made Sana, tinggal di Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan. Pekerjaan mertuanya sebagai petani. Melihat dari nama yang sesuai dengan stratifikasi sosial di Bali, nampaklah mertua laki-laki berasal dari golongan ksatria, sedangkan mertua perempuan berasal golongan masyarakat kebanyakan dan kini berstatus wang jero. Biasanya dipanggil Jero Made (Sana), sebaliknya Sagung Putri Puspadi (istri) yang berasal dari golongan kesatria menikah dengan I Wayan Nardayana dari kelas biasa, sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Bali disebut  (nyerod ‘turun’) warna.
Pengalaman kerja yang pernah dijalani I Wayan Nardayana sebelum memfokuskan diri pada seniman dalang, sebagai berikut:
(1)   sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata Denpasar dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.
(2)   sebagai tukang ukir still Bali dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995.
(3)   sebagai seniman topeng dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1995.
(4) pengurus LPD Banjar Batannyuh dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008.
Pengalaman kerja ini dan sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan memberi cambuk kepada dirinya untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu terlihat dari sekaa yang ada dalam wayang Cenk Blonk cukup banyak (+ 45 orang) adalah salah satu obsesinya.
2.  I Wayan Nardayana Seniman Kreatif-Inovatif
            Kehadiran dalang I Wayan Nardayana sebagai dalang  yang terkenal di tengah-tengah masyarakat Bali dilalui  proses yang panjang. Sejak kanak-kanak ia sudah berlatih menjadi dalang dengan menggunakan kertas karton sebagai wayang, lampu dari kaleng cat, dan kelir dari kain bekas serta gamelan dari tingklik. Selain dia, di desanya ada dua dalang cilik lagi, yang sering pentas di depan anak-anak sedesa, sehingga kompetisi sesama dalang cilik dalam lingkungan desa saat itu telah ada. 
Kegemarannya dengan dunia wayang membuat I Wayan Nardayana tidak pernah absen menonton wayang setiap ada pertunjukan, baik di desanya sendiri maupun di luar desa yang bisa dijangkau. Pertunjukan wayang yang paling sering ditonton, adalah pertunjukan yang dilakukan oleh dalang I Gusti Sudiartha dari Desa Kukuh dan Pan Yusa dari desanya sendiri, yaitu Belayu. Selain itu, ia pun memiliki kaset wayang yang didengarnya setiap saat.
            Dampak dari kegemarannya yang berlebihan terhadap wayang, raport triwulanan di kelas IV sekolah dasar (SD) sangat jelek dan ayahnya menjadi marah serta membakar seluruh peralatan wayang yang disayanginya itu. Jiwa seni dan kecintaannya terhadap dunia wayang tidak pernah padam, ketika memasuki dunia remaja tepatnya memasuki dunia pendidikan SLTP, ia kembali membuat wayang dan bertekad menjadi dalang dan juga membentuk sekaa topeng serta perkumpulan drama gong sesama temannya di kampung tanpa mengabaikan dunia pendidikan.
Memasuki masa remaja, yakni ketika duduk di SLTA (SMA Dwi Tunggal) antara tahun 1983—1986, kecintaannya terhadap dunia seni semakin tidak bisa dibendung lagi. Kesenian yang digandrungi, seperti drama gong, bondres, topeng, arja, dan wayang sendiri.  Setelah menamatkan studi di SMA Dwi Tunggal, ia mengkhususkan diri berlatih wayang lewat rekaman dan menonton pertunjukan yang ada di sekitar desa. Selain itu,  ia  membeli kulit sapi (telah siap dipakai wayang) seharga Rp 100.000 di Desa Darmasaba, Abiansemal, Badung untuk membuat wayang. Atas bantuan sahabatnya yang bernama Made Dira dari Banjar Poaya, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar berupa satu set perangkat pahat ukir, I Wayan Nardayana membuat sejumlah tokoh wayang sampai sejumlah wayang yang siap dipentaskan.
Setelah wayang dianggap cukup, ia kemudian minta petunjuk kepada Ida Pedanda dari Geria Belayu, Marga, Tabanan. Pada tahun 1992 Wayang dibuatkan upacara: diprayascita, dipasupati, dan dibakuh tepat pada hari suci Tumpek Wayang, pada Saniscara (Sabtu) Keliwon wuku Wayang. Pertunjukan perdananya dilakukan di pura Paruman, di desanya sendiri dengan lakon “Gugurnya Prabu Jarasanda”, Raja Magada oleh Bima. Sejak itulah, I Wayan Nardayana mengepakkan sayapnya ke daerah-daerah lain melakukan pertunjukan. Misi pertama yang dilakukan dalang ini untuk menarik minat penonton, adalah membuat penonton golongan muda tertarik dan tertawa dengan lawakan-lawakan yang erotis atau dengan kata lain kesenian wayang untuk hiburan.
Lewat lawakan-lawakan tokoh Nang Klenceng dan Nang Ceblong, label yang semula kesenian ini bernama Gita Loka ‘nyanyian alam’ berubah menjadi Cenk Blonk. Dalang tertarik menggunakan kata itu sebagai lebel karena sebutan penonton di Jempayah, Desa Mengwitani,  Badung, yang berdialog dengan sahabatnya mengatakan “ayo mebalih wayang Cengblong” dan masyarakat lainnya lebih mengenal dalang Cengblong dari nama dalang sesungguhnya. Untuk lebih keren dan mengikuti zaman serta terobsesi oleh  terkenalnya kata Cengblong dari Gita Loka, I Wayan Nardayana mengubah nama perkumpulan kesenian ini menjadi Cenk Blonk.
Keberhasilan  I Wayan Nardayana sebagai dalang yang sangat terkenal di Bali terlahir dari proses belajar; mengintip dalang saat pertunjukan, mempelajari kesenangan penonton, dan mengevaluasi kinerja (kreativitas) dalang sebelumnya. Ia tidak memiliki guru khusus dalam bidang pedalangan, ia belajar dengan cara: mendengarkan  kaset-kaset dalang-dalang terkenal sebelumnya, seperti dalang Made Jagra, I Dewa Made Rai Mesi, Ida Bagus Putu Amithaba, Ida Bagus Ngurah Buduk, dan Dalang Madra. Namun, tidak dapat dipungkiri dosen-dosen di perguruan tinggi  ISI (Bapak I Wayan Dibya, Bapak I Wayan Catra, I Dewa Ketut Wicaksana, dan Bapak Ketut Kodi ) dan dosen IHDN (Bapak Made Suastika, Nengah Dwija, I Wayan Sugita, dll.) peran guru besar dan dosen senior ini banyak memberi andil dalam seni yang digelutinya.
Berkat ketekunan, banyak belajar dari dalang-dalang sebelumnya, dan polesan dari intelektualitas kampus serta melakukan kreativitas seni, ia banyak membuat terosan-terobosan dalam seni pewayangan Bali. Kata kunci yang ia pegang teguh di dalam berkesenian ialah (1) kesenian wayang merupakan pertunjukan dengan permainan hati ke hati. Jika dalang sudah tidak enak dalam hati bagaimana masyarakat menerima dengan enak, (2) pengalaman lapangan adalah guru yang utama, ia selalu merekam situasi zaman, oleh Budiasa (2006)  disebut dalang perekam zaman, (3) memacu diri dengan bekerja keras, sehingga tidak ketinggalan zaman dan tidak merasa puas dengan apa yang telah diperbuat (tidak ada kata puncak dalam berkesenian). Ia selalu memperbaharui dialog-dialog yang dapat menggugah emosi penonton, dan (4) menguasai bahasa (Bali, Kawi-Pedalangan, dan bahasa Indonesia). Baginya, seorang dalang harus mampu melakukan perbedaan suara di antara tokoh, yang ia sebut (jenis suara kunyit, jahe, isen, dan cekuh) seidentik dengan pernyataan Ida Bagus Putu Amithaba tentang suara yang harus dikuasai dalang, yaitu suara talawya, dantya, dalem, dan sengau). Bandingkan dengan suara dalang Jawa (manis, merdu, rena, perkasa, dan gora).
Bakat yang dimiliki dan niat memajukan kesenian wayang adalah obsesinya, dengan demikian, ia pun melakukan studi di perguruan tinggi ISI dan IHDN Denpasar. Pengetahuan yang didapat dari ISI tentang tetikesan (gerak wayang di kelir, pakem, dan seni tabuh) misalnya dan retorika, etika, dan moral serta filsafat keagamaan di IHDN, ia kemas di dalam pertunjukan sehingga tontonan yang dilakukannya menjadi lebih menarik, baik dari segi pakeliran, tetikesan, gamelan, dan muatan-muatan dalam tuturan. Di samping itu, salah satu perjuangan intelektulitasnya akhir-kahir ini, adalah untuk meyakinkan umat di seluruh Nusantara, Bali khususnya untuk bersatu padu membangun bangsa yang dilandasi moral dan etika dengan tetap menjunjung nilai-nilai agama; agama apa pun tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat tidak baik. ‘Pang do meset-set sesai keto, nak onyo ajak manyama, ne nak baju gen melenan....’ ‘janganlan bertengkar setiap saat, kita semua saudara, kita hanya berbeda merek (baju) saja....’
Di bidang budaya umpamanya, ia berharap perlu mengajarkan kembali nilai-nilai budaya  yang kini seakan-akan telah melupakan kebijaksanaan masyarakat, hubungan antarmanusia, kekeluargaan, kemanusiaan, keberanian, kepahlawanan, kejujuran, kesetiaan yang terkandung dalam berbagai ajaran filsafat hidup, dalam pepatah tua, nilai-nilai moral, dan etika serta estetika dalam kerangka seni budaya. Inilah kerangka sekaligus landasan tempat melakukan kreativitas intelektual, budaya, dan seni.
3. Visi dan Misi  I Wayan Nardayana Berkesenian
            Kehadiran dalang Cenk Blonk di tengah-tengah masyarakat, mampu memberi warna dan corak tersendiri dalam jagat pewayangan Bali. Pada awal kehadirannya pun tidak lepas dari pro dan kontra dalam masyarakat penggemar wayang yang telah mapan dengan suguhan-suguhan pertunjukan wayang tradisi, yang taat dengan pakem-pakem yang telah mempola. Beranjak dari situasi inilah, dalang I Wayan Nardayana semakin tertantang menjawab fenomena-fenomena kebiasaan masyarakat yang terpolakan oleh suguhan wayang tradisi,  menjadi biasa melihat suguhan pertunjukan wayang yang telah mengalami inovasi-inovasi, baik dari segi intrinsik (gaya dialog, pasiat, dan isi tuturan) maupun ekstrinsiknya (tata panggung, tata lampu, tabuh, dan struktur manajemen).
            Model yang dikemas dan inovasi-inovasi yang telah dilakukanya mengantarkan dalang yang mengagumi Dalang I Made Jagra (Bongkasa) karena retorika, cerdas, dan tidak membosankan itu,  semakin digandrungi dalam masyarakat Bali dan pernah menjadi duta wayang Bali ke tingkat nasional dan Asean, antara lain:
(1)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Indonesia, di Jakarta.
(2)   sebagai duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Asean di Malaysia.
(3)   sebagai dalang kehormatan di Istana Presiden, Jakarta.
(4)   beberapa kali pentas di Jakarta dan Cikeas Bogor.

Selain itu, beberapa penghargaan telah didapatnya, misalnya:          
(1)      Juara II pada Festival Wayang Babad dalam PKB tahun 1998.
(2)     Finalis Festival Drama Gong Mr. Brown se-Bali, Radio Menara 105 FM pada tahun 1999.
(3)      Juara Harapan I pada Lomba Topeng Pajegan dalam PKB XXIV, tahun 1999.
(4)     Bali Award 2007 oleh Majalah Bali Aga, sebagai sepuluh tokoh Pelestari Budaya Bali.
(5)      Piagam Penghargaan dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia dan Persatuan Pedalangan Indonesia, Jakarta, sebagai Dalang dengan Garap Iringan Terbaik.
(6)      Piagam Penghargaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni, dan Film, Jakarta, sebagai Pengembang Teater Wayang Kulit Gaya Bali.
(7)      Lila Adimanta Award 2009 oleh Radar Bali Music Award.

Melihat pengalaman pentas dan beberapa penghargaan yang diperoleh, tidak dapat dipungkiri bahwa seniman berkarya atau berkreativitas secara sadar tidak sadar mempunyai konsep-konsep tertentu yang berkaitan dengan sosio-kultural zamannya. Dengan kata lain, seniman berkarya tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi yang diembannya.  Adapun visi dan misi yang diemban I Wayan Nardayana dalam pertunjukan wayang kulit dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(1)   Pertunjukan wayang kulit, tidak hanya menjadi kesenian babali (pengiring upacara) tetapi sebagai kesenian balih-balihan (tontonan), yang mampu menghibur dan menuntun masyarakat ke jalan yang benar serta merombak keadaan yang buruk dalam masyarakat.
(2)   Menjadikan kesenian wayang kulit memiliki tempat yang “istimewa” dalam masyarakat. Hal ini disebabkan fungsi wayang, peran dalang, dan seni katanya dapat mendidik dan menyebarluaskan pengetahuan.
(3)   Mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
(4)   Melihat pentingnya wayang di dalam kehidupan orang Bali, maka dalam berkesenian hendaknya dilandaskan pada: logika, etika, dan estetika sehingga wayang kelak mampu menjadi identitas orang Bali serta mampu menjadi penjaga dan penyangga kebudayaan Bali khususnya dan kebudayaan Nusantara umumnya.
(5)   Dalam era globalisasi, citra wayang tetap mampu bertahan dengan kearifan lokal adiluhungnya.

4. Evolusi Pertunjukan Wayang Kulit Bali
          Awalnya pertunjukan yang dilakukan  I Wayan Nardayana bertumpu  pada pakem pertunjukan wayang kulit tradisonal Bali, yaitu tentang pakeliran, tabuh dari gender, (batelan kalau ngrameyana), dan pasiat, hal ini berlangsung antara tahun 1992 sampai dengan 1996. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, dalang I Wayan Nardayana telah melakukan perombakan besar-besaran, baik dari segi pakeliran, tata lampu, tabuhan, tetikesan, pasiatan serta dialog-dialog lebih mengutamakan muatan-muatan yang mengandung: logika, etika, dan estetika serta filsafat agama. Konsep yang dianut dalang dalam mengemas kesenian ini dilandasi oleh pertanyaan “mengapa kesenian wayang ditinggalkan penggemarnya?”
            Pertanyaan inilah membuat I Wayan Nardayana mencari jawabannya, yaitu dengan cara mentransformasi bentuk pertunjukan wayang sebelumnya, baik dari segi tetikesan, pakeliran, tata lampu, seni tabuh, pasiat, maupun dialog-dialog yang tidak hanya berstandarkan pakem wayang tradisonal Bali sebagai suguhan tiap pentas, tetapi ia telah “mengadopsi” bentuk ekstrinsik (dalam hal bentuk pakeliran, tata lampu, dan seni tabuh) model wayang Jawa. Dari segi intrinsik, memperbaharui gaya dialog, pasiat, dan memadukan isu-isu yang sedang hangat dalam masyarakat, kemudian dipakai dasar dialog (banyolan) dalam pertunjukan sehingga masyarakat pencinta wayang merasa terhibur dan terlibat dalam kesenian itu. Alasan memodernisasi pertunjukan  wayang kulit yang  lakukannya itu, agar kesenian wayang kulit dapat mensejajarkan diri dengan kesenian lainnya dan dapat mengimbangi zaman yang terus bergerak maju.
Berdasarkan tata panggung, tata lampu, tabuh,  lakon-lakon yang telah dipentaskan (Gugurnya Prabhu Jarasanda, Bima Swarga, Diah Ratna Takeshi, Asti  Sweta, Rudra Murti, Tebu Sala, Kumbakarna Lina, Titi Banda, Sutha Amrih Bapa, Diah Gagar Mayang, Katundung Ngada, Titi Bandha, Gatotkaca Anggugah, dan Lata Mausadhi (sedang digarap), penghargaan-penghargaan didapat, dan meniru kinerja dalang lain yang dikagumi, I Wayan Nardayana menjadi inspirasi dan kreativitas dalang-dalang selanjutnya. Keberhasilan itu ditunjukkan melalui indikator, di antaranya: (1) inovasi-inovasi dalam bentuk dan isi, (2) bahasa singkat, sederhana, dan penuh energi, (2) kebaruan isi, yaitu sesuai dengan semangat zaman, dan (3) retorika, dialog-dialog dapat menggugah emosi penonton.
            Proses kreativitas itu dilakukannya melalui proses yang panjang, tahap demi tahap, dan penyempurnaannya lewat pertunjukan dari satu lokasi ke lokasi lainnya; tanggapan masyarakat adalah gurunya. Lewat tanggapan masyarakat inilah, ia melakukan banyak perubahan-perubahan dalam gaya pertunjukan wayang kulit Bali dan ia menyebut perubahan itu melalui proses “evolusi” dalam berkarya. Prinsip lainnya yang ia pegang teguh untuk memajukan kesenian wayang, seperti yang dinyatakan  Muchtar Lubis (1993:284) bahwa
“tanpa iklim kebebasan budaya yang mantap, janganlah orang Indonesia berharap akan mendapat karya-karya besar dari seniman Indonesia. Terpaksalah banyak orang Indonesia, seperti selama ini hanya menepuk-nepuk dada sendiri, membanggakan hasil-hasil seni dan budaya nenek-moyang yang telah lama lenyap, sebagai bayangan wayang yang menghilang (dari) kegelapan malam dari pinggir layar pergelaran pakem (yang baku)”.
            Pandangan inilah yang berpengaruh besar terhadap kejiwaan I Wayan Nardayana sehingga ia melakukan inovasi-inovasi dalam pertunjukan, oleh masyarakat Bali sering disebut pertunjukan wayang  “kontemporer", yaitu pertunjukan wayang masa kini yang memperlihatkan ekpresi intrinsik dan ekstrinsiknya dalam bentuk kekinian, bebas dari orientasi dan referensi pakem wayang yang telah mempola. Pandangan-pandangan masyarakat luas tentang dirinya menjadi bagian penting dalam berkarya, sehingga ia tidak pernah berhenti membuat terobosan-terobosan baru (inovatif) dalam pertunjukan. Intinya ia tidak ingin ditinggalkan pengemarnya gara-gara kemonoton  pentas, karena mengembalikan kepercayaan masyarakat sangat sulit (ini beranjak dari melihat pengalaman kesenian atau dalang-dalang sebelumnya), yang telah mengalami puncak, tidak mau introspeksi diri sehingga kesenian yang dipentaskannya monoton. Akibatnya, dalam pentas sering tidak diperhatikan, ditinggalkan penonton, dan bahkan jarang ditanggap orang.
Ia sangat bersyukur dan cukup bangga  apa yang dia peroleh serta optimis, karena masih ada lembaga dan seseorang yang menghargai wayang di saat kehidupan yang dikatakannya serba bisnis (pis ‘uang’). Diakuinya, sebagai seorang dalang yang terpenting baginya adalah pertunjukannya berterima di hati masyarakat. Dengan rendah hati, dia memohon kritik dan saran dari para penonton, penikmat wayang, dan peneliti, agar pertunjukan yang telah dilakukannya ditanggapi demi kemajuan kesenian wayang  itu sendiri.
Akhir dialog, I Wayan Nardayana berharap kepada generasi muda  supaya memaknai pertunjukan wayang, karena tokoh-tokoh wayang memiliki watak yang melambangkan watak manusia dan menggali nilai-nilai positif serta dapat menangkap filosofi yang terkandung dalam tuturan cerita.



1 komentar: